Hukum

Perbudakan Modern di Balik Pompa Bensin: SPBU 34-17120 Harus Diusut Tuntas

Muhammad Fadhil, S.H., Ketua Lembaga Bantuan Hukum Federasi Serikat Buruh Kimia, Industri Umum, Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH FSB KIKES KSBSI) – Foto Istimewa

Oleh: Muhammad Fadhil, S.H.,
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Federasi Serikat Buruh Kimia, Industri Umum, Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH FSB KIKES KSBSI)

Hukum – Di tengah geliat pembangunan dan jargon kesejahteraan buruh yang terus digaungkan oleh pemerintah, masih banyak praktik ketenagakerjaan yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan.

Salah satu contoh nyata dan mencolok dari ironi tersebut adalah dugaan pelanggaran ketenagakerjaan di SPBU 34-17120 milik PT Hirra Jaya, yang berlokasi di Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi.

Kasus ini bukan sekadar persoalan administratif atau teknis ketenagakerjaan.

Ini adalah gambaran telanjang dari praktik eksploitasi modern yang terjadi secara terang-terangan di sektor yang seharusnya berada di bawah pengawasan ketat, baik dari pemerintah daerah, kementerian terkait, maupun induk korporasi BUMN seperti PT Pertamina (Persero).

Berdasarkan investigasi awal yang kami lakukan, terungkap bahwa para pekerja di SPBU tersebut hanya menerima upah sebesar Rp1,5 juta per bulan.

Angka ini sangat jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Bekasi yang ditetapkan pemerintah.

Bahkan jika dibandingkan dengan upah minimum di beberapa daerah tertinggal sekalipun, nilai tersebut tetap tidak masuk akal.

Ini adalah bentuk kekerasan struktural, ketika pengusaha secara sadar membayar upah di bawah standar minimum, mereka secara langsung menjauhkan pekerja dari kehidupan layak, pendidikan yang baik untuk anak-anaknya, dan jaminan sosial yang menjadi hak dasar warga negara.

Menurut Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pengusaha yang membayar upah di bawah UMK dapat dikenai sanksi pidana.

Oleh karena itu, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga merupakan tindakan kriminal.

Rekrutmen Ilegal dan Tanpa Kepastian Kerja

Lebih lanjut, proses rekrutmen pekerja dilakukan secara serampangan dan tidak manusiawi.

Tidak ada surat lamaran, wawancara, ataupun perjanjian kerja tertulis yang menjadi dasar hubungan kerja yang sah.

Hal ini menyebabkan pekerja berada dalam situasi rentan secara hukum.

Baca juga :  Sejumlah Jalan Diganti dengan Nama Seniman Betawi, Warga Khawatirkan Masalah Ini

Tanpa kontrak kerja tertulis, pekerja kehilangan akses terhadap perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh negara, termasuk jaminan sosial, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kepastian hubungan kerja.

Ini membuka ruang eksploitasi yang sangat besar dan menciptakan ketidakpastian hidup yang terus-menerus bagi para buruh.

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang telah diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja dan diturunkan melalui PP Nomor 35 Tahun 2021, perjanjian kerja adalah syarat mutlak dalam hubungan industrial yang sah.

Tidak adanya dokumen ini membuat seluruh praktik ketenagakerjaan di SPBU tersebut cacat hukum.

Tidak Ada SOP, Tidak Ada Pelatihan, dan Tidak Ada Jaminan Sosial

Ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP), pelatihan kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja bukan hanya menunjukkan kelalaian manajerial, tetapi juga menempatkan pekerja dalam risiko besar setiap harinya.

Bagaimana mungkin seorang petugas pengisi BBM, yang berhadapan langsung dengan bahan mudah terbakar, tidak mendapatkan pelatihan keselamatan kerja yang memadai?

Pekerja seperti ini seharusnya tidak hanya mendapatkan pelatihan teknis, tetapi juga dilindungi oleh sistem manajemen keselamatan kerja, termasuk asuransi dan jaminan sosial.

Ketiadaan aspek-aspek ini bukan hanya masalah teknis, melainkan bentuk pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia di tempat kerja.

Kematian Pekerja dan Sikap Tidak Bertanggung Jawab Pengusaha

Yang lebih menyedihkan, salah satu pekerja di SPBU 34-17120 dilaporkan meninggal dunia saat sedang menjalankan tugasnya.

Alih-alih memberikan perlindungan dan hak-hak yang semestinya, pihak pengusaha hanya memberikan sumbangan sebesar Rp3 juta untuk acara 40 harian.

Ucapan “kami sudah menyumbang tiga juta rupiah” bukan hanya mencerminkan pengabaian terhadap tanggung jawab hukum dan moral, tetapi juga merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat manusia.

Pekerja yang meninggal dunia saat menjalankan tugas seharusnya mendapatkan hak-haknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni:

  1. Uang pesangon, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 PP 35 Tahun 2021;
  2. Uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 40 ayat (3);
  3. Uang penggantian hak sebagaimana Pasal 40 ayat (4);
  4. Jaminan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan, termasuk biaya pemakaman, santunan tunai, serta beasiswa pendidikan bagi anak pekerja yang meninggal dunia.
Baca juga :  COVER NOTE TIDAK MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI BUKTI

Ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini bukan hanya melukai rasa keadilan keluarga korban, tetapi juga mencerminkan nihilnya penghormatan terhadap nyawa manusia di tempat kerja.

SPBU Mitra Pertamina: Di Mana Tanggung Jawab Korporasi?

Penting untuk disoroti bahwa SPBU 34-17120 beroperasi di bawah jaringan dan brand besar PT Pertamina (Persero).

Artinya, walaupun secara hukum berada dalam kendali mitra usaha (dealer), citra Pertamina sebagai BUMN tetap melekat pada operasional SPBU tersebut.

Dalam konteks ini, tanggung jawab korporasi (corporate responsibility) tidak dapat dihindari.

PT Pertamina (Persero) memiliki kewajiban moral, sosial, dan korporatif untuk memastikan bahwa seluruh mitra usaha yang menggunakan brand-nya tunduk pada hukum ketenagakerjaan dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Jika Pertamina membiarkan kasus ini tanpa tindakan tegas, maka hal itu sama saja dengan membiarkan pelanggaran hukum terjadi di bawah bendera perusahaan negara.

Citra BUMN sebagai pilar ekonomi nasional yang mengusung nilai keadilan sosial akan hancur di mata publik.

Melihat kompleksitas dan bobot pelanggaran yang terjadi, sudah seharusnya negara turun tangan melalui aparat dan lembaga yang berwenang. Kami mendesak beberapa langkah konkret berikut:

  1. Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan harus segera melakukan pemeriksaan menyeluruh, termasuk wawancara terhadap semua pekerja dan audit terhadap struktur manajemen SPBU.

  2. PT Pertamina (Persero) wajib melakukan audit internal terhadap seluruh mitra SPBU di wilayah Bekasi, serta menindak tegas SPBU 34-17120 bila terbukti melakukan pelanggaran serius.

  3. Penghentian Operasional sementara terhadap SPBU 34-17120 perlu dilakukan jika ditemukan risiko tinggi terhadap keselamatan dan pelanggaran normatif berat.

  4. Pemilik SPBU (PT Hirra Jaya) harus memberikan klarifikasi terbuka dan memenuhi tanggung jawab hukum atas kematian pekerja serta pelanggaran ketenagakerjaan lainnya.

  5. Aparat Penegak Hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan, perlu melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana baik pidana umum (kematian pekerja) maupun tindak pidana khusus (pelanggaran ketenagakerjaan dan HAM).

  6. Jika langkah-langkah tersebut tidak dijalankan secara cepat dan transparan, kami mempertimbangkan untuk membawa kasus ini ke Kementerian Ketenagakerjaan RI, Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Komisi IX DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Baca juga :  TNI AL Serahkan Oknum Pembunuh Jurnalis ke Oditurat Militer

Hentikan Perbudakan Modern Berkedok Kemitraan

Apa yang terjadi di SPBU 34-17120 hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan bahwa praktik perbudakan modern masih eksis di tengah industri layanan publik.

Di balik pompa-pompa bensin yang berdiri megah dan seragam pekerja yang terlihat rapi, tersimpan kisah pilu tentang pelanggaran hak, ketidakadilan, dan ketidakpedulian.

Negara tidak boleh tinggal diam.

Pemerintah daerah, kementerian, BUMN, dan aparat penegak hukum harus menunjukkan bahwa hukum masih memiliki wibawa di negeri ini, dan bahwa nyawa serta hak buruh tidak dapat ditukar dengan sejumlah uang belas kasihan.

Keadilan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu harus dimulai dari keberanian kita untuk bersuara, menuntut, dan bertindak tegas terhadap mereka yang menginjak-injak hak-hak dasar kaum pekerja.

“Negara kuat bukan dilihat dari megahnya gedung-gedung, tetapi dari bagaimana ia melindungi buruh kecil di pompa-pompa bensin kecil.” ^__^

Catatan Redaksi:
Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Semua pihak yang disebutkan dalam berita ini berhak atas praduga tak bersalah hingga ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap. Kami akan terus mengikuti perkembangan kasus ini secara mendalam dan menyampaikan informasi terbaru berdasarkan fakta yang dapat diverifikasi.

Berita Terkait :

SPBU 34-17120 Diduga Langgar UU Ketenagakerjaan, DPRD Akan Lakukan Sidak

Anggota DPRD Angkat Bicara, Ahmadi: Selesaikan Hak Pekerja Sesuai Aturan Negara

SPBU 34-17120 Diduga Punya Bekingan Jenderal, Arifin: Enggak Ada Pak Salah Paham

Diduga Tewas di SPBU, Korban Kecelakaan Kerja Berhak Tuntut Hak Sesuai Hukum

Diduga Tewas di SPBU Pengasinan, RS Ananda Tambun Selatan: Memang Bau Bensin

Pekerja SPBU Diduga Tewas di Bunker, Karena Jatuh, Konsumsi Obat, Serangan Jantung?

Simak berita dan artikel pilihan Gensa Media Indonesia langsung dari WhatsApp Channel, klik disini : "https://whatsapp.com/channel/GensaClub" dan pastikan kamu memiliki aplikasi WhatsApp yaa.

Editor: icuen

Sebelumnya

Satgas Yonif 126/KC Tunjukkan Kepedulian Tulus di Kampung Yomkondo

Selanjutnya

Komisi II DPRD Sumedang Laksanakan Evaluasi APBD Semester I Tahun 2025

Nadya
Penulis

Nadya

Gensa Media Indonesia