Opini

Catcalling Bukan Candaan: Kenali Bentuk Pelecehan Verbal yang Sering Diabaikan

Catcalling Bukan Candaan: Kenali Bentuk Pelecehan Verbal yang Sering Diabaikan – Foto Istimewa

Opini – Catcalling adalah bentuk pelecehan verbal yang terjadi di ruang publik, biasanya berupa siulan, komentar, atau ucapan bernada seksual yang diarahkan kepada seseorang tanpa persetujuan.

Umumnya menyasar perempuan dan dilakukan oleh laki-laki asing.

Meskipun banyak yang menganggap tindakan ini hanyalah gurauan atau bentuk pujian, kenyataannya catcalling adalah perilaku yang tidak diinginkan, melecehkan, dan bisa berdampak psikologis pada korbannya.

Menurut Komnas Perempuan, catcalling termasuk dalam kategori kekerasan seksual non-fisik.

Artinya, meskipun tidak melibatkan kontak fisik, catcalling tetap memiliki potensi untuk melukai secara emosional dan merendahkan martabat seseorang.

Pelecehan ini juga merupakan bagian dari bentuk kekuasaan atau dominasi terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan.

Contoh Catcalling dalam Kehidupan Sehari-hari

Catcalling bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Berikut ini beberapa contoh catcalling yang sering dialami perempuan:

  • Siulan atau peluit saat perempuan berjalan di trotoar.
  • Ucapan bernada seksual seperti: “Cakep banget sih, sendirian aja?”, “Boleh dong senyumnya!”, atau “Asik juga liat kamu lewat sini tiap hari.”
  • Komentar fisik yang tidak diminta: “Pinggangnya kecil banget, kayak gitar Spanyol.”
  • Panggilan tidak sopan seperti “sayang”, “manis”, “baby”, yang dilontarkan kepada orang asing.
  • Pertanyaan bernada menggoda yang dilontarkan secara sengaja di depan umum, sering kali sambil tertawa atau bersorak bersama teman-temannya.
  • Mengikuti korban sambil melemparkan komentar seksual.

Komentar-komentar tersebut, meskipun dikemas dengan tawa atau “pujian”, tetap termasuk pelecehan verbal karena dilakukan tanpa persetujuan dan menyebabkan ketidaknyamanan.

Pelecehan verbal ini bisa dialami oleh siapa saja, namun kelompok yang paling rentan adalah perempuan dan remaja perempuan, terutama yang berjalan sendirian, berada di tempat sepi, atau saat mengenakan pakaian yang dianggap “mengundang”.

Baca juga :  10 Situs Survey Penghasil Uang Terbukti Membayar

Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bentuk pakaian tidak berpengaruh pada kemungkinan menjadi korban, catcalling terjadi karena niat pelaku, bukan karena tampilan korban.

Catcalling juga bisa dialami oleh laki-laki, anak-anak, serta kelompok minoritas gender dan seksual, namun intensitas dan dampaknya cenderung lebih tinggi pada perempuan karena faktor sosial dan budaya patriarki.

Catcalling bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, terutama di ruang-ruang publik.

Beberapa lokasi yang sering menjadi tempat terjadinya catcalling antara lain:

  • Jalan raya dan trotoar
  • Halte dan stasiun transportasi umum
  • Pasar dan pusat perbelanjaan
  • Lingkungan kampus atau sekolah
  • Sekitar tempat kerja atau kawasan perkantoran
  • Fasilitas umum seperti taman, jembatan penyebrangan, dan lapangan

Catcalling juga bisa terjadi di dunia digital, melalui media sosial, aplikasi pesan instan, atau komentar di konten yang diunggah secara publik.

Mengapa Catcalling Bukan Sekadar Candaan?

Seringkali catcalling dibela dengan alasan “hanya bercanda” atau “memuji”.

Namun alasan ini tidak dapat membenarkan perilaku yang melanggar batas privasi orang lain. Ada beberapa alasan mengapa catcalling bukan candaan biasa:

  1. Tidak Ada Persetujuan
    • Candaan seharusnya bersifat timbal balik. Dalam catcalling, tidak ada komunikasi dua arah yang setara. Pelaku berbicara tanpa izin, korban diposisikan sebagai objek.

  2. Membuat Tidak Nyaman
    • Catcalling bisa membuat korban merasa malu, takut, marah, bahkan trauma. Beberapa korban menghindari rute tertentu atau mengubah cara berpakaian karena merasa tidak aman.

  3. Mengandung Intimidasi
    • Kata-kata atau siulan itu kerap dibarengi dengan tatapan tajam, tawa sinis, atau tindakan mengikut korban, sehingga menciptakan rasa terancam.

  4. Merendahkan Martabat
    • Komentar seksual di ruang publik menunjukkan bahwa perempuan dipandang sebagai objek visual, bukan sebagai manusia yang utuh dengan kehendak dan otonomi.

  5. Memperkuat Budaya Seksisme
    • Membiarkan catcalling dianggap biasa memperkuat budaya yang tidak menghargai perempuan dan melegitimasi bentuk pelecehan lainnya.
Baca juga :  HUT Bhayangkara ke-79, Turnamen Bola Voli Polda Jabar Penuh Semangat dan Kebersamaan

Secara hukum, Indonesia telah mulai mengakui catcalling sebagai bentuk kekerasan seksual, khususnya melalui:

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

UU ini memuat kategori kekerasan seksual non-fisik, termasuk kekerasan verbal.

Pasal 5 mengatur bahwa tindak kekerasan seksual bisa dilakukan melalui lisan atau tindakan yang merendahkan martabat.

Sanksi bagi pelaku dapat berupa pidana penjara, denda, serta tindakan rehabilitasi, tergantung dari bentuk pelecehan dan dampak terhadap korban.

2. Peraturan Daerah dan Kebijakan Lokal

Beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta telah memiliki peraturan daerah yang melarang dan memberikan sanksi administratif bagi pelaku pelecehan seksual di ruang publik.

3. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Jika catcalling dilakukan secara daring, seperti mengirim komentar vulgar di media sosial, pelaku bisa dikenai pasal penghinaan, pelecehan, atau penyebaran konten bermuatan seksual.

Namun demikian, tantangan penegakan hukum masih besar, mulai dari kurangnya kesadaran aparat hingga minimnya pelaporan karena korban merasa malu atau takut tidak dipercaya.

Menanggapi catcalling harus mempertimbangkan keamanan dan situasi. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Untuk Korban:

  • Tetap tenang dan waspada. Jangan menunjukkan ketakutan jika merasa itu akan memperburuk situasi.
  • Abaikan pelaku, terutama jika merasa tidak aman untuk merespons.
  • Tegur secara tegas jika memungkinkan, dengan kalimat seperti “Itu tidak sopan!” atau “Jangan ganggu saya.”
  • Catat waktu, lokasi, dan ciri-ciri pelaku jika ingin melaporkan.
  • Laporkan kepada pihak berwenang atau lembaga pendamping seperti Komnas Perempuan atau LBH APIK.

Untuk Saksi:

  • Tunjukkan dukungan kepada korban, misalnya dengan menyapa korban atau mendekatkan diri agar pelaku merasa diawasi.
  • Dokumentasikan kejadian bila memungkinkan.
  • Dukung korban jika ingin membuat laporan.
Baca juga :  Oknum Dinkes Diduga Intimidasi Yayasan Sosial Non-Medis di Bekasi

Peran Masyarakat dan Media

Perubahan budaya membutuhkan keterlibatan semua pihak. Media berperan penting dalam:

  • Memberikan edukasi yang tepat tentang pelecehan verbal.
  • Menyudahi glorifikasi atau normalisasi terhadap komentar seksual.
  • Mewakili suara korban tanpa menyalahkan mereka.

Institusi pendidikan juga perlu mengedukasi siswa sejak dini tentang pentingnya menghormati batas pribadi dan memahami konsep persetujuan.

Catcalling bukan sekadar candaan. Ia adalah bentuk pelecehan verbal yang berdampak nyata terhadap korban, terutama perempuan.

Tindakan ini menciptakan rasa tidak aman, memperkuat budaya seksisme, dan sering kali dianggap remeh oleh pelaku maupun masyarakat.

Namun kini, dengan regulasi yang mulai berpihak dan kesadaran yang tumbuh, kita memiliki kesempatan untuk membangun ruang publik yang aman dan setara bagi semua.

Apakah kamu pernah mengalami atau menyaksikan catcalling?

Bagaimana perasaanmu saat itu, dan apa yang kamu lakukan?

Bagikan pengalamanmu, atau berikan opini tentang bagaimana masyarakat seharusnya merespons pelecehan verbal ini.

Semakin banyak suara yang disuarakan, semakin kuat pula perubahan yang bisa kita dorong bersama.**/

Simak berita dan artikel pilihan Gensa Media Indonesia langsung dari WhatsApp Channel, klik disini : "https://whatsapp.com/channel/GensaClub" dan pastikan kamu memiliki aplikasi WhatsApp yaa.
Sebelumnya

Skena: Gaya Hidup Anak Muda yang Lagi Ngetren, Kamu Termasuk?

Selanjutnya

Rumbling di Attack on Titan: Simbol Kehancuran atau Perlawanan

icuen
Penulis

icuen

Gensa Media Indonesia