Hukum

Mayoritas Publik Khawatir Revisi UU TNI Menghambat Reformasi

Mayoritas Publik Khawatir Revisi UU TNI Menghambat Reformasi – Foto Istimewa

Survey – Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia khawatir revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dibahas di DPR dan pemerintah dapat menghambat proses reformasi yang telah dimulai sejak 1998.

Sebanyak 69,5 persen atau tujuh dari sepuluh responden menyatakan kekhawatiran terhadap perluasan jabatan TNI ke ranah sipil.

Sebelum era reformasi, militer yang saat itu dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dwifungsi, yakni sebagai kekuatan pertahanan negara sekaligus aktor sosial politik yang aktif dalam pemerintahan.

Reformasi 1998 bertujuan mengembalikan fungsi utama militer sebagai alat pertahanan negara serta membatasi keterlibatannya dalam urusan sipil.

“Dengan konteks tersebut, menjadi tidak mengherankan bahwa publik ingin negara terus berpegang pada semangat reformasi dan demokrasi rakyat. Hasil jajak pendapat menunjukkan 69,5 persen responden khawatir perluasan jabatan TNI ke ranah sipil akan memundurkan proses reformasi yang telah dimulai sejak 1998,” tulis Tim Litbang Kompas dalam laporannya.

Sebanyak 58,8 persen responden berpendapat bahwa jika seorang anggota TNI masuk ke lembaga sipil, maka mereka harus mundur dari posisinya di TNI.

Kekhawatiran ini semakin mencuat seiring dengan aksi massa yang menolak revisi UU TNI, yang mencerminkan resistensi publik terhadap keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.

Dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 17-20 Maret 2025, ditemukan bahwa 68,6 persen responden khawatir akan potensi tumpang tindih kewenangan jika TNI masuk ke lembaga sipil.

Responden dengan pendidikan tinggi menunjukkan tingkat kekhawatiran yang lebih besar, mencapai 81,5 persen. Sementara itu, di kalangan responden dengan pendidikan dasar, angka kekhawatiran berada di 64,5 persen.

Tingginya kekhawatiran di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi dinilai wajar.

Baca juga :  Polda Jabar Gelar Lomba Mini Soccer Pakai Sarung hingga Baksos untuk Warga

Kelompok ini umumnya memiliki akses informasi lebih luas serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai implikasi pengesahan undang-undang.

Secara historis, kekhawatiran ini juga berkaitan dengan pengalaman di masa Orde Baru, ketika pendekatan militer diterapkan secara luas dalam pemerintahan sipil.

Risiko Perwira Militer di Lembaga Sipil

Salah satu risiko yang menjadi sorotan adalah kemungkinan bias dalam perumusan kebijakan jika perwira militer menempati posisi strategis dalam pemerintahan sipil.

Hal ini berisiko membuat kebijakan yang seharusnya berbasis demokrasi dan profesionalisme malah diterapkan dengan pendekatan militeristik yang berorientasi pada hierarki komando.

Selain itu, jajak pendapat juga menyoroti minimnya transparansi dalam pembahasan revisi UU TNI.

Data menunjukkan bahwa hanya 34,5 persen responden yang mengetahui adanya pembahasan revisi UU TNI di DPR. Sebaliknya, hampir 70 persen responden mengaku tidak mengetahui proses tersebut.

Jika ditinjau berdasarkan tingkat pendidikan, kesenjangan pengetahuan ini semakin jelas.

Di kalangan responden berpendidikan rendah, hanya 19,8 persen yang mengetahui revisi UU TNI.

Di kelompok berpendidikan menengah, angkanya meningkat menjadi 35,2 persen.

Sedangkan di kalangan berpendidikan tinggi, tingkat pengetahuannya mencapai 70,4 persen.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa isu revisi UU TNI masih kurang tersosialisasikan secara luas.

Mayoritas masyarakat bahkan tidak melihat adanya urgensi dalam pengesahan revisi ini.

Sebanyak 57,8 persen responden menilai revisi UU TNI tidak mendesak, sementara hanya 34,9 persen yang menganggap revisi ini perlu segera dilakukan.

Publik juga memiliki pandangan beragam mengenai dampak masuknya TNI ke ranah sipil terhadap demokrasi.

Sebanyak 46,8 persen responden menilai keterlibatan TNI dalam institusi sipil akan mengganggu demokrasi, sedangkan 49,7 persen menganggap demokrasi tidak akan terganggu.

Namun, jika dilihat dari kelompok responden berpendidikan tinggi yang lebih memahami prinsip demokrasi, resistensi terhadap revisi UU TNI lebih besar.

Baca juga :  Lantamal I Ajak Pelajar Belawan Jadi Generasi Tangguh dan Sadar Hukum

Sebanyak 72,8 persen dari kelompok ini berpendapat bahwa masuknya TNI ke lembaga sipil akan berdampak negatif terhadap demokrasi.

Hal ini terkait dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi pilar utama demokrasi, yang merupakan bagian dari semangat reformasi 1998 untuk memastikan pemisahan yang jelas antara ranah sipil dan militer dalam tata kelola pemerintahan.

Metodologi Jajak Pendapat

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas ini melibatkan 535 responden dari 38 provinsi di Indonesia.

Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas, sesuai dengan proporsi jumlah penduduk dari setiap provinsi.

Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, survei ini memiliki margin of error sekitar ± 4,25 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Namun, seperti halnya survei lainnya, potensi kesalahan di luar pengambilan sampel tetap ada.

Survei ini sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).

Hasil survei ini menjadi cerminan bagaimana publik menilai kebijakan terkait revisi UU TNI.

Dengan tingkat kekhawatiran yang tinggi, transparansi dan pelibatan masyarakat dalam proses legislasi menjadi hal yang sangat penting guna menjaga semangat reformasi dan demokrasi di Indonesia.**/

sumber: Kompas

Simak berita dan artikel pilihan Gensa Media Indonesia langsung dari WhatsApp Channel, klik disini : "https://whatsapp.com/channel/GensaClub" dan pastikan kamu memiliki aplikasi WhatsApp yaa.
Sebelumnya

Jelang Idul Fitri, Prajurit Lanal Bintan Terima Paket Lebaran Sebagai Bentuk Kepedulian TNI AL

Selanjutnya

Komnas HAM: Restitusi untuk Keluarga Bos Rental yang Ditembak Belum Maksimal

icuen
Penulis

icuen

Gensa Media Indonesia