Kasus Dugaan Pemerkosaan Tahanan Wanita oleh Polisi: Dorongan Penghapusan Penahanan di Kantor Kepolisian

Pacitan – Seorang anggota Kepolisian Resor (Polres) Pacitan, Jawa Timur, diduga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang tahanan perempuan di lingkungan kantor polisi.
Peristiwa ini kembali memicu sorotan publik terhadap praktik penahanan di kantor kepolisian dan mendorong desakan pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai pemberitaan media, seorang anggota polisi berpangkat Aiptu berinisial LC, yang menjabat sebagai Pejabat Sementara Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti Polres Pacitan, diduga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap seorang perempuan berinisial PW (21).
Kejadian ini dilaporkan terjadi pada rentang waktu 4 hingga 6 April 2025.
Korban merupakan seorang tahanan yang sedang menjalani proses hukum terkait dugaan kasus perdagangan orang.
Dugaan pemerkosaan tersebut diduga dilakukan di dalam fasilitas Polres Pacitan, tempat korban ditahan selama proses penyidikan.
Pelaku merupakan anggota aktif kepolisian yang memiliki kewenangan langsung atas pengelolaan tahanan dan barang bukti.
Sementara korban adalah perempuan muda yang berstatus sebagai tersangka.
Peristiwa ini menempatkan institusi kepolisian dalam sorotan tajam, khususnya dalam hal pengawasan internal dan perlindungan hak asasi tahanan.
Kejadian dugaan kekerasan seksual tersebut berlangsung pada awal April 2025 di lingkungan Polres Pacitan, Jawa Timur.
Lokasi kejadian berada dalam kendali langsung institusi kepolisian, tempat seharusnya hukum ditegakkan dan hak individu dilindungi.
Kasus ini memantik kemarahan publik dan kecaman dari berbagai pihak karena melibatkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut.
“Polisi seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan pelaku kekerasan. Kekerasan seksual adalah pelanggaran berat terhadap martabat dan hak korban. Harus ada proses hukum yang tegas terhadap pelaku, termasuk kewajiban membayar restitusi kepada korban,” tegas pernyataan resmi ICJR.
ICJR mendesak agar proses hukum terhadap terduga pelaku dilakukan secara transparan, tidak hanya melalui jalur etik internal kepolisian, tetapi juga pidana.
Selain itu, ICJR meminta negara untuk segera memenuhi hak-hak korban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hak-hak tersebut antara lain meliputi pemulihan psikologis, layanan kesehatan (termasuk pencegahan kehamilan dan infeksi menular seksual), serta bantuan hukum selama proses pengadilan berlangsung.
ICJR juga menegaskan bahwa kejadian ini bukanlah kasus terisolasi.
Dalam catatan mereka, kekerasan seksual terhadap perempuan yang berstatus sebagai tahanan maupun keluarga tahanan oleh aparat kepolisian telah berulang kali terjadi di berbagai daerah.
Sejumlah data menunjukkan bahwa kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum terhadap perempuan dalam tahanan masih marak.
Pada September 2024, misalnya, Pengadilan Negeri Makassar memvonis Briptu Sanjaya bersalah karena memaksa tahanan perempuan melakukan tindakan seksual secara lisan.
Sementara itu, pada Oktober 2021, dua anggota polisi di Polsek Kutalimbaru, Deli Serdang, dinyatakan melakukan pemerkosaan terhadap istri tahanan.
Kasus serupa juga terjadi di Polres Lahat, Sumatra Selatan, pada Desember 2021, di mana seorang polisi memperkosa istri tahanan hingga menyebabkan kehamilan.
Dalam laporan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), peringatan Hari Anti Penyiksaan 2024 mencatat bahwa terdapat 308 kasus kekerasan berbasis gender di ranah negara.
Dari jumlah tersebut, 106 kasus melibatkan perempuan berkonflik dengan hukum, termasuk 15 kasus kekerasan atau penyiksaan selama penyidikan.
Penelitian yang dilakukan LBH Masyarakat juga memperkuat temuan ini.
Dalam survei yang dilakukan antara Januari hingga Mei 2024 terhadap tahanan di tiga rumah tahanan negara di Jakarta, ditemukan bahwa 35 orang mengalami penyiksaan selama penyidikan, 21 orang mengaku diperas, dan 7 orang menyatakan mengalami kekerasan seksual oleh aparat.
ICJR menyatakan bahwa akar persoalan terletak pada sistem penahanan itu sendiri, terutama keberadaan tahanan dalam fasilitas kepolisian.
Menurut pandangan mereka, penahanan seharusnya tidak dilakukan di kantor polisi karena potensi besar terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekerasan.
Merujuk pada prinsip hak asasi manusia yang tertuang dalam Komentar Umum Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), penahanan harus dilakukan di fasilitas yang diatur dan diawasi oleh institusi yang berbeda dari lembaga penyidik, guna menjamin hak-hak dasar tahanan.
Di Indonesia, Rumah Tahanan Negara (Rutan) berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, bukan Kepolisian.
Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilaksanakan di Rutan dan bukan di kantor polisi.
RUU KUHAP 2025 Dipertanyakan
Meskipun ada semangat reformasi dalam sistem peradilan pidana, Pasal 100 dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tahun 2025 masih memperbolehkan penahanan dilakukan di kantor polisi.
Penjelasan pasal tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diratifikasi Indonesia, khususnya ICCPR.
“RUU KUHAP seharusnya menghapuskan sepenuhnya penahanan di kantor kepolisian. Harus ada pemisahan otoritas penahanan dengan otoritas penyidikan agar tidak terjadi konflik kepentingan dan pelanggaran hak,” lanjut pernyataan ICJR.
ICJR menyarankan agar pemerintah dan DPR segera meninjau ulang substansi RUU KUHAP dengan mempertimbangkan standar HAM internasional.
Jika keterbatasan kapasitas Rutan menjadi alasan, maka perlu dilakukan perluasan atau optimalisasi fasilitas yang berada di bawah otoritas non-kepolisian.
Penahanan oleh institusi yang memiliki kepentingan terhadap hasil penyidikan berisiko melanggar prinsip due process of law.
Oleh karena itu, pembenahan sistem menjadi keharusan untuk memastikan perlindungan terhadap semua pihak, termasuk mereka yang sedang berhadapan dengan hukum.
Kasus dugaan kekerasan seksual di Polres Pacitan menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam sistem penahanan kepolisian.
Dengan sorotan tajam dari masyarakat sipil dan lembaga pemerhati hukum, saat ini menjadi momentum penting bagi negara untuk mengevaluasi secara menyeluruh mekanisme penahanan, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa kekerasan.**/
sumber: ICJR
