Soal Kematian Pekerja di SPBU Rawa Lumbu, GMBI: Negara Tak Boleh Diam

Oleh: Supriyatno
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (LSM GMBI) KSM Rawa Lumbu
Bekasi – Kematian seorang pekerja di SPBU 34-17120, Rawa Lumbu, Kota Bekasi pada 19 Mei 2025 lalu, tidak bisa dibiarkan menjadi sekadar catatan buram dalam arsip kecelakaan kerja.
Hingga kini, kasus tersebut masih menyisakan banyak tanda tanya, baik dari aspek penyebab, tanggung jawab, maupun proses penegakan hukum yang seolah berjalan di tempat.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) KSM Rawa Lumbu pun angkat bicara, menuntut adanya investigasi menyeluruh dari aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada 19 Mei 2025.
Seorang pekerja SPBU 34-17120 dikabarkan meninggal dunia saat sedang bertugas.
Namun, sejak tragedi tersebut terjadi, publik hanya disuguhkan informasi yang simpang siur.
Tidak ada keterangan resmi yang benar-benar menjawab pertanyaan mendasar: apa penyebab kematian? siapa yang bertanggung jawab? bagaimana kondisi kerja korban saat itu? apakah ada pelanggaran keselamatan kerja?
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, isu ini perlahan tenggelam.
Pemberitaan media pun tak lagi fokus pada pokok perkara, bahkan dicurigai mulai digunakan sebagai alat propaganda, bukan sebagai corong kebenaran.
Hal ini menjadi sorotan tajam LSM GMBI KSM Rawa Lumbu yang secara terbuka menyatakan sikap agar negara tak tinggal diam.
Ketua LSM GMBI KSM Rawa Lumbu, Supriyatno, menyampaikan bahwa pihaknya mendesak Kepolisian dan Dinas Pengawas Ketenagakerjaan segera mengambil langkah konkret.
Menurutnya, hingga akhir Juli 2025 lebih dari dua bulan sejak insiden terjadi belum ada kejelasan hukum maupun penanganan administratif terhadap pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Lebih dari itu, Supriyatno mengungkapkan kekhawatiran tentang munculnya pemberitaan yang cenderung menggiring opini publik tanpa dasar yang sahih.
Ia menilai, media seharusnya menjadi kekuatan keempat demokrasi yang berperan mengungkap fakta, bukan justru memperkeruh suasana dengan narasi tendensius.
Di sinilah persoalan krusial itu berakar.
Negara, melalui lembaga-lembaga resmi seperti Kepolisian, Dinas Tenaga Kerja, dan bahkan Ombudsman, memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menyelesaikan kasus ini secara transparan dan akuntabel.
Jika benar terjadi kelalaian dalam prosedur keselamatan kerja, maka pengusaha SPBU patut dimintai pertanggungjawaban pidana dan perdata.
Namun jika ternyata insiden tersebut merupakan kecelakaan murni, penjelasan resmi harus segera disampaikan kepada publik, terutama kepada keluarga korban.
Transparansi adalah jalan utama untuk menghindari spekulasi yang bisa memicu gejolak sosial.
Kematian di tempat kerja bukan sekadar angka statistik.
Setiap nyawa pekerja yang hilang adalah tragedi kemanusiaan.
Dalam konteks ketenagakerjaan, tragedi semacam ini sering kali menjadi titik awal perlawanan masyarakat sipil terhadap praktik buruk yang kerap dilakukan oleh pelaku usaha yang hanya mengejar keuntungan tanpa peduli terhadap keselamatan pekerja.
Jika kasus seperti ini tidak ditindak serius, maka bukan tidak mungkin akan terjadi pengulangan di masa depan.
Apalagi, banyak SPBU maupun tempat kerja informal lainnya yang hingga kini luput dari pengawasan ketat Dinas Ketenagakerjaan.
Bagaimana Solusinya?
Langkah pertama yang harus diambil adalah pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan unsur Kepolisian, Disnaker, tokoh masyarakat, dan lembaga pengawasan ketenagakerjaan.
Tim ini harus memiliki mandat untuk mengungkap seluruh fakta di balik kematian pekerja tersebut.
Kedua, pihak SPBU harus bersikap kooperatif dan memberikan akses penuh terhadap data, rekaman CCTV, serta informasi tentang kondisi kerja korban.
Tidak ada ruang untuk menutup-nutupi fakta.
Jika ditemukan pelanggaran, maka proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Ketiga, perlunya pengawasan ketat terhadap seluruh SPBU dan tempat kerja serupa, termasuk audit berkala tentang penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Kementerian Ketenagakerjaan harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk pembenahan sistemik di seluruh wilayah Indonesia.
Kematian pekerja SPBU 34-17120 bukan hanya urusan keluarga korban, tetapi urusan kita semua sebagai warga negara yang menginginkan keadilan, keselamatan kerja, dan supremasi hukum ditegakkan.
Sudah saatnya negara turun tangan secara serius, bukan sekadar menjadi penonton yang menunggu isu ini tenggelam oleh berita-berita baru.
Jika suara masyarakat sipil seperti LSM GMBI saja berani menyuarakan keadilan, maka sudah sepatutnya aparat penegak hukum bergerak cepat.
Diam berarti ikut bersalah.
Negara tidak boleh abai.
Catatan Redaksi:
Opini ini ditulis berdasarkan pernyataan resmi dari Ketua LSM GMBI KSM Rawa Lumbu dan bertujuan mendorong transparansi serta penegakan hukum dalam kasus kematian pekerja SPBU di Bekasi. Kami mengajak semua pihak untuk tetap menjaga integritas pemberitaan.
