Saat Mangrove Ditebang dan Negara Diam: Jeritan Sunyi dari Kubu Raya

Pontianak – Ada yang sedang disayat pelan-pelan di pesisir barat Kalimantan. Bukan luka di tubuh manusia, tapi di jantung ekosistem: hutan mangrove Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya.
Dulu, hamparan hijau mangrove seluas lebih dari 129 ribu hektare ini jadi benteng alami—penjaga garis pantai, rumah ribuan spesies, penyerap karbon paling setia. Tapi kini, sebagian kawasan itu tak lagi hijau. Ia berubah jadi tanah gundul, sunyi, dan dikhianati.
Pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Law, angkat suara. Nada bicaranya tegas, bahkan sedikit getir.
“Ini bukan cuma soal pohon ditebang. Ini kejahatan lingkungan yang jelas-jelas melanggar hukum, tapi dibiarkan begitu saja,” kata Herman, Senin siang.
Ia menyebut pembabatan liar ini menabrak banyak aturan:
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Ancaman pidananya nggak main-main—hingga 7 tahun penjara dan denda Rp5 miliar. Tapi sejauh ini? Nihil tindakan.
Ironisnya, di atas kertas pemerintah punya program restorasi mangrove. Tapi di lapangan? Mangrove tetap ditebang, dan aparat terkesan menutup mata.
“Ini bentuk inkonsistensi negara. Hukum tumpul saat berhadapan dengan perusak lingkungan. Kalau dibiarkan, kerusakannya bisa permanen,” tegas Herman.
Ia mendesak aparat hukum, dinas kehutanan, dan pemerintah daerah untuk berhenti pura-pura tidak tahu. Lingkungan, kata Herman, bukan cuma warisan, tapi hak hidup generasi mendatang.
“Negara tidak boleh tunduk pada pelaku perusakan. Hukum harus hidup, bukan sekadar teks di undang-undang,” pungkasnya.
(Dr. Herman Hofi Law)
