Halangi Wartawan, Oknum Kejari Ketapang Nyaris Picu Kericuhan

Ketapang – Insiden yang mencoreng demokrasi kembali terjadi. Sejumlah wartawan nyaris terlibat dalam kericuhan setelah mendapat larangan peliputan oleh oknum Kejaksaan Negeri (Kejari) Ketapang pada Kamis, 6 Februari 2025. Peristiwa ini menuai kritik tajam dari kalangan jurnalis dan pemerhati kebebasan pers.
Ketegangan bermula ketika tim Persatuan Wartawan Kalbar (PWK) hendak meliput pertemuan antara Direktur PT Putra Berlian Indah (PT PBI) dan tim kuasa hukumnya dengan pihak Kejari Ketapang.
Kedatangan mereka bertujuan untuk mempertanyakan perkembangan kasus dugaan perampasan lahan PT PBI oleh PT Cita Mineral Investindo, Tbk. (PT CMI).
Pihak PT PBI ingin mendapatkan klarifikasi terkait disposisi yang telah diteruskan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kejati Kalbar) kepada Kejari Ketapang beberapa waktu lalu. Mereka juga meminta kepastian mengenai tindak lanjut atas laporan yang telah diajukan sebelumnya.
Namun, ketegangan terjadi ketika petugas kejaksaan melarang wartawan yang hadir untuk meliput pertemuan tersebut.
Pihak kejaksaan beralasan bahwa diskusi tersebut bersifat internal dan tidak boleh dipublikasikan. Pernyataan tersebut langsung mendapat protes dari wartawan yang merasa hak mereka telah dilanggar.
Upaya Penghalangan Tugas Jurnalistik
Tak hanya melarang peliputan, pihak kejaksaan bahkan meminta wartawan menghapus rekaman video yang telah dibuat dan menyerahkan ponsel mereka.
Permintaan ini ditolak oleh para wartawan, yang menganggap tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan pers dalam mencari dan menyampaikan informasi.
Situasi memanas dan nyaris memicu kericuhan. Adu argumen sempat terjadi antara wartawan dan petugas kejaksaan.
Beruntung, ketegangan dapat diredam setelah pihak PT PBI dan tim kuasa hukumnya melakukan musyawarah dengan pihak kejaksaan. Kedua belah pihak akhirnya menyepakati jalur komunikasi yang lebih baik tanpa menghalangi peran media.
Ketua Persatuan Wartawan Kalbar (PWK), Ali Muhamad, mengecam keras tindakan oknum Kejari Ketapang yang diduga menghalangi tugas jurnalistik.
Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pers yang telah diatur dalam undang-undang.
“Menghalangi tugas wartawan sudah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa siapa pun yang menghalangi wartawan dapat dikenakan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta,” ujar Ali Muhamad.
Ali menegaskan bahwa pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi tanpa ada tekanan dari pihak mana pun. Ia juga menyayangkan sikap aparat hukum yang seharusnya memahami tugas dan fungsi wartawan.
“Sebagai aparat penegak hukum, mereka seharusnya memahami pentingnya kebebasan pers. Mestinya mereka memberikan akses kepada wartawan yang hendak memperoleh informasi, bukan malah menghalangi. Apalagi sampai meminta handphone dan menghapus video liputan. Itu adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ali menyoroti pentingnya keterbukaan informasi publik. “Kita hidup di era keterbukaan informasi, yang sejalan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, kecuali informasi tertentu yang bersifat ketat dan terbatas,” jelasnya.
Kasus ini kembali menyoroti perlunya transparansi dalam proses hukum, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Pihak PT PBI menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal perkembangan kasus dugaan perampasan lahan mereka oleh PT CMI.
“Kami ingin memastikan bahwa ada kejelasan dalam tindak lanjut laporan yang telah kami ajukan. Masyarakat berhak mengetahui perkembangan kasus ini, mengingat dampaknya yang luas terhadap berbagai pihak,” ujar kuasa hukum PT PBI.
Kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang menjadi kunci dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Upaya menghalangi wartawan dalam menjalankan tugasnya justru menimbulkan kecurigaan publik terhadap penanganan suatu kasus.
Kesimpulan
Peristiwa yang terjadi di Kejari Ketapang menjadi peringatan serius mengenai ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Pers memiliki peran penting dalam mengawal transparansi, terutama dalam proses hukum yang menyangkut kepentingan publik.
Oleh karena itu, segala bentuk penghalangan terhadap tugas jurnalistik harus ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
PWK dan berbagai organisasi jurnalis lainnya berencana mengadukan insiden ini kepada Dewan Pers serta meminta perhatian khusus dari aparat terkait agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Kebebasan pers harus tetap dijaga sebagai pilar utama demokrasi, demi terciptanya keterbukaan dan akuntabilitas dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.**(sumber: Ali Muhama dan Sahrianto PWK Ketapang)
