Kasus Kematian Muh Mughni: Ayah Korban Tolak Damai, Tuntut Keadilan di Meja Hukum
Nyawa anak kami tidak bisa digantikan dengan nyawa hewan

Palu – Proses hukum kasus kematian tragis Muh Mughni Syakur, warga Birobuli, Palu Selatan, terus menjadi perhatian publik. Insiden yang terjadi pada 13 November 2023 itu hingga kini belum memasuki tahap persidangan, meskipun telah berlalu lebih dari dua bulan.
Kasus ini muncul sebelum peristiwa viral Bayu Aditya, namun belum juga menunjukkan perkembangan signifikan. Banyak yang menilai lambatnya proses hukum ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan transparansi dalam penanganan kasus pidana.
Pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Keempatnya, yang berinisial AR, RM, H, dan YPA, diduga terlibat dalam peristiwa yang merenggut nyawa Mughni.
Meski nama-nama tersebut telah diungkap, proses hukum mereka masih dalam tahap awal. Penetapan tersangka ini dilakukan berdasarkan bukti-bukti awal yang dihimpun dari tempat kejadian perkara dan keterangan saksi-saksi yang hadir pada saat kejadian.
Kasus ini menjadi lebih kompleks ketika kuasa hukum para tersangka, Banua Sanjaya Hasibuan, SH.MH, mencoba menawarkan jalan damai kepada keluarga korban.
Dalam upaya ini, pihak kuasa hukum memberikan tawaran berupa uang tunai sebesar Rp100 juta kepada Yusran, ayah almarhum Mughni.
Selain itu, Banua juga mengusulkan penyelesaian melalui adat, yang mencakup penggantian nyawa dengan hewan sebagai simbolik.
Hal ini dianggap sebagai solusi yang mencerminkan nilai-nilai lokal, tetapi sayangnya tidak sejalan dengan keinginan keluarga korban.
Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh keluarga korban. “Nyawa anak kami tidak bisa digantikan dengan nyawa hewan,” tegas Yusran dilansir dari sambar.id dengan raut wajah yang penuh emosi.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan keadilan adalah melalui proses hukum yang adil dan transparan. Yusran juga mengkritik upaya damai tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap rasa keadilan keluarga.
Yusran, dalam keterangannya, mengungkapkan bahwa keadilan tidak dapat dibeli dengan uang atau diselesaikan secara simbolik.
“Biarlah hukum yang berbicara. Kami hanya ingin keadilan untuk anak kami,” tambahnya. Menurut Yusran, jalur hukum adalah satu-satunya cara untuk memastikan para pelaku mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatan mereka.
Ia juga menyatakan bahwa tawaran tersebut menunjukkan kurangnya empati terhadap penderitaan yang dialami keluarganya.
Keputusan Yusran untuk menolak jalan damai mencerminkan keinginan kuat keluarga korban untuk melihat kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum formal.
Mereka berharap proses hukum dapat memberikan efek jera kepada para pelaku dan menjadi pelajaran bagi masyarakat.
Kuasa hukum tersangka, Banua Sanjaya Hasibuan, mengonfirmasi bahwa pihaknya memang pernah mengajukan tawaran damai kepada keluarga korban.
“Terkait adanya nominal uang damai, saya tidak memiliki kewenangan penuh. Itu hanya sebatas upaya negosiasi,” jelasnya. Banua juga menyatakan bahwa ia menghormati keputusan keluarga korban yang menolak jalan damai.
Lebih lanjut, Banua menegaskan pentingnya prinsip praduga tak bersalah. “Semua akan dibuktikan nanti di pengadilan. Apakah klien saya benar-benar terbukti melakukan penganiayaan terhadap korban, itu tergantung pada proses hukum yang berjalan,” ujarnya.
Ia juga meminta masyarakat untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Banua berharap kasus ini dapat menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa hukum dapat berjalan tanpa intervensi atau tekanan publik.
Hingga kini, belum ada kepastian kapan kasus ini akan memasuki tahap persidangan. Publik berharap agar proses hukum dapat segera dilanjutkan dan memberikan kejelasan hukum bagi keluarga korban serta masyarakat luas.
Keberlangsungan sidang ini juga akan menjadi indikator sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dapat dipertahankan.
Kasus ini telah menarik perhatian masyarakat, tidak hanya di Palu, tetapi juga secara nasional. Banyak pihak menyerukan pentingnya transparansi dan keadilan dalam penyelesaian kasus ini.
Keputusan Yusran untuk menolak damai menunjukkan keteguhan hati keluarga korban dalam mencari keadilan, sekaligus menjadi sorotan bagi penegakan hukum di Indonesia.
Publik juga mengkritisi lambannya penanganan kasus ini sebagai cerminan lemahnya sistem peradilan dalam merespons kasus-kasus penting.
Para aktivis hukum dan organisasi masyarakat sipil telah mulai menggalang dukungan untuk mendesak percepatan proses hukum.
Mereka menilai bahwa kasus ini dapat menjadi preseden buruk jika tidak ditangani secara profesional dan berintegritas.
Harapan Keluarga
Keluarga almarhum Mughni berharap agar hukum ditegakkan seadil-adilnya, tanpa adanya intervensi atau kompromi.
“Kami hanya ingin kebenaran dan keadilan. Proses hukum harus profesional, transparan, dan berkeadilan,” kata Yusran. Harapan yang sama juga diungkapkan oleh masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini.
Sementara itu, pengacara para tersangka menegaskan bahwa mereka siap menghadapi proses hukum dan membuktikan kebenaran di pengadilan.
“Kita semua harus menghormati hukum. Biarkan pengadilan yang memutuskan berdasarkan fakta dan bukti,” tutup Banua.
Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan. Semua pihak kini menantikan langkah selanjutnya dalam penyelesaian kasus kematian tragis ini.
Dengan harapan besar dari masyarakat, proses hukum ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.**/Red
(bang tama)