Opini

Hakordia dan Tanggung Jawab Kolektif Memutus Mata Rantai Korupsi

Hakordia dan Tanggung Jawab Kolektif Memutus Mata Rantai Korupsi – Foto Istimewa

Oleh: Muhamad Dika Fredikat
Plt Sekretaris Jenderal DPP Mahasiswa Gempur Korupsi Indonesia (MAGSI)

Opini – Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada 9 Desember 2025 kembali menjadi momentum penting bagi seluruh elemen bangsa untuk menegaskan sikap terhadap kejahatan korupsi.

Mahasiswa Gempur Korupsi Indonesia (MAGSI) bersama Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) menggunakan momen ini untuk memperkuat komitmen publik dalam menolak segala bentuk penyimpangan, meningkatkan integritas, serta memperluas partisipasi masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan negara.

Hakordia merupakan agenda global yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Dalam kerangka tersebut, negara-negara anggota, termasuk Indonesia, didorong memperkuat sistem pencegahan, penindakan, dan pendidikan antikorupsi sebagai upaya kolektif membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.

Indonesia telah memiliki payung hukum yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahan melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan definisi korupsi sekaligus memperkuat instrumen penindakan, termasuk penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan suap.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 beserta perubahan terkait KPK memberi mandat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan pencegahan, koordinasi, supervisi, hingga penindakan terhadap tindak pidana korupsi.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi dasar bagi etika aparatur negara dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Seluruh perangkat regulasi ini menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mengancam tata kelola pemerintahan, merusak pelayanan publik, dan memperlebar ketimpangan sosial.

Korupsi yang Mengakar dalam Sistem

Namun, kuatnya dasar hukum tidak serta-merta membuat Indonesia bebas dari korupsi.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus demi kasus terus mencuat, mulai dari suap perizinan, manipulasi anggaran, hingga kejahatan tata niaga yang merugikan negara dalam jumlah masif.

Baca juga :  Pangkoarmada RI Danlanal Bandung Siap Kawal Sukses Bakti TNI AL/TMMD 2025 di Tasikmalaya

Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan sekadar kurangnya aturan, tetapi lemahnya integritas individu dan rapuhnya budaya pengawasan di berbagai lini.

“Korupsi di Indonesia hari ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi penyakit sosial yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa,” tegas Muhamad Dika Fredikat.

Ia menilai bahwa korupsi terus tumbuh karena adanya ruang permisif dalam masyarakat maupun birokrasi.

Praktik pungutan liar yang dianggap “biasa”, gratifikasi yang dibungkus sebagai rasa terima kasih, hingga penyalahgunaan jabatan yang dinormalisasi telah menciptakan ekosistem yang subur bagi perilaku koruptif.

Peringatan Hakordia menjadi pengingat bahwa korupsi bukan hanya tindakan oknum yang tertangkap tangan.

Ia merupakan refleksi dari sistem yang selama ini membiarkan penyimpangan berlangsung tanpa kontrol sosial yang kuat.

Karena itu, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan lembaga penegak hukum.

Diperlukan kesadaran kolektif, mulai dari pejabat negara, pelaku usaha, tokoh masyarakat, hingga mahasiswa dan generasi muda.

MAGSI dan LAKI mendorong perubahan paradigma bahwa integritas harus menjadi identitas sosial. Pengawasan publik harus hidup dan berkelanjutan, bukan hanya reaktif ketika terjadi kasus besar.

Transparansi anggaran, keterbukaan informasi, serta keberanian melapor menjadi bagian dari gerakan sistemik untuk mempersempit ruang korupsi.

Perubahan Harus Dimulai Sekarang

Indonesia tidak akan pernah maju jika penyelenggaraan negara terus digerogoti perilaku koruptif.

Kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun bukan hanya angka, tetapi hilangnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan infrastruktur publik yang aman.

Momentum Hakordia 2025 harus menjadi titik balik untuk memperkuat gerakan antikorupsi yang lebih serius, terstruktur, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Pemberantasan korupsi bukan sekadar agenda tahunan, tetapi tanggung jawab moral dan konstitusional yang harus dijalankan setiap hari.

Baca juga :  Brimob Batalyon C Pelopor Tingkatkan Kesiapsiagaan SAR di Ciputat

Selama budaya permisif terhadap korupsi masih melekat, selama praktik suap kecil dianggap wajar, dan selama integritas belum menjadi standar hidup, maka korupsi akan tetap menjadi ancaman terbesar bagi masa depan Indonesia.

Hakordia bukan hanya peringatan, tetapi seruan: saatnya memutus mata rantai korupsi mulai dari diri sendiri, lingkungan terdekat, hingga ke ruang-ruang kekuasaan.

Hanya dengan komitmen kolektif, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang sejahtera.**/red

Simak berita dan artikel pilihan Gensa Media Indonesia langsung dari WhatsApp Channel, klik disini : "https://whatsapp.com/GensaClub" dan pastikan kamu memiliki aplikasi WhatsApp yaa.
Sebelumnya

Panglima TNI Dampingi Prabowo Tinjau Posko Pengungsian dan Dapur Lapangan di Padang Pariaman

Selanjutnya

Kodaeral IX Terima Kunjungan Kerja Staf Kepresidenan RI

Redaktur
Penulis

Redaktur

Gensa Media Indonesia