Tanya Jawab Mobil Leasing Fidusia Dan UU Perlindungan Konsumen
Diterbitkan oleh : icuen WhatsApp : 0838 3347 4553 […]
Diterbitkan oleh : icuen
WhatsApp : 0838 3347 4553
Pertanyaan :
Mohon penjelasan, apabila debitur menunggak angsuran apakah dibenarkan pihak leasing mengkuasakan pihak ketiga untuk menarik unit kemdaraan?
Sebagai informasi tambahan, pihak leasing sudah mendaftarkan jaminan fidusia secara elektronik dari awal pencairan dana, sedangkan debitur secara tidak sadar telah memberikan kuasa kepada leasing untuk mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
Apakah ini masih bertentangan dengan “Selain itu sebagai konsumen, ada UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang menjelaskan larangan mencantumkan klausula yang memberikan kuasa dari konsumen kepada lembaga pembiayaan untuk melakukan segala tindakan sepihak termasuk pembebanan denda dan penyitaan obyek fidusia” mohon penjelasannya, terima kasih
Baca juga : Take Over Mobil Tanpa Diketahui Leasing, Aman Kah ?
Dijawab oleh : Mursalim, S.H., M.H. (Penyuluh Hukum Ahli Madya)
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan Yth. Saudara Sizar dari Provinsi Bengkulu, maka atas pertanyaan Saudara dapat saya sampaikan sebagai berikut:
Pertumbuhan ekonomi yang pesat rupanya berbanding selaras dengan animo masyarakat untuk memiliki kendaran bermotor, untuk menunjang aktivitas.
Berbagai cara di upayakan untuk memiliki kendaran tersebut termasuk menggunakan jasa lembaga pembiayaan kendaraan (Leasing).
Dalam hukum perjanjian, kesepakatan/konsensus para pihak dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian baik lisan atau tertulis sebagaimana Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Kesepakatan harus memenuhi unsur sahnya perjanjian. Namun perjanjian tertulis adalah lebih kuat dari segi pembuktian. Dan harus dipahami, bahwa perjanjian itu bersifat memaksa (imperatif) karena berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda) (Pasal 1338 KUHPerdata).
Demikian pula dengan leasing harus diletakkan dalam bentuk tertulis yang mengatur hak dan kewajiban para pihak yaitu kreditur dan debitur. Sehingga apabila terjadi Cedera janji (wanprestasi) pada salah satu pihak, maka penyelesaiannya dapat dilihat pada isi perjanjian yang telah dibuat.
Walau berbeda antara kredit dengan leasing. Perbedaan utamanya adalah dimana kredit maka obyek barang telah balik nama menjadi milik debitor. Sementara pada leasing obyek barang masih atas nama leassor/pemberi leasing.
Sebelum melanjutkan pembahasan diatas, kami ingin memperkenalkan produk Midi Dress Jumbo Bigsize Wanita Terbaru ANDARA yang bisa kamu temukan disini.
Perjanjian Kredit Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian kredit berbunyi : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” Salah satu jenis Kredit yang digemari (trend) yaitu: Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Merupakan kredit yang menyediakan fasilitas pembiayaan bagi masyarakat untuk memperoleh mobil/motor baik baru ataupun bekas dengan sistem kredit/cicilan/mengangsur.
Perjanjian KKB menyangkut dua belah pihak, dimana pihak pemberi pinjaman (leasing/bank/kreditur) menyetujui pemberian pinjaman kepada penerima pinjaman (debitur) untuk membeli kendaraan bermotor (mobil/motor).
Kreditur akan menerima kembali uangnya disertai keuntungan tertentu sebagai ganti dari jasa pinjaman yang biasanya berupa bunga. Kredit dapat diajukan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya yang menyediakan produk pinjaman tersebut. Umumnya, jaminan yang digunakan dalam KKB adalah kendaraan itu sendiri, sehingga jika Anda gagal bayar, kendaraan tersebut akan disita. Perjanjian kredit (KKB) tersebut juga harus memenuhi prinsip-prinsip hukum perdata sebagaimana diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Prinsip berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi para pihak (Pacta Sun Servanda) juga berlaku. Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (‘KUHPerdata”) mengatur: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal1339 KUHPerdata).
Perjanjian tersebut jaga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian baik segi subyektif maupun obyektif. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”),
Syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
- 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- 3. Suatu hal tertentu.
- 4. Suatu sebab yang halal.
Dengan demikian leasing sebagai bnetuk perjanjian juga harus memenuhi syarat sahnya dan berlakukannya suatu perjanjian tersebut sebagaimana diatur hukum perdata. Pengertian Leasing Leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan berdasarkan kesepakatan/perjanjian dalam bentuk penyediaan barang modal dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi yang digunakan oleh (lessee) untuk jangka waktu tertentu.
Berdasar Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, dikatakan: ‘Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”.
Drs. Muhamad Djumhana, S.H. mengatakan bahwa sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent.
Dalam bahasa Belandanya istilah ini adalah financieringshuur. . Ciri-ciri perjanjian leasing adalah : Lessor sebagai pihak pemilik barang atas objek leasing, dimana objek leasingdapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak dan memiliki umurmaksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut
Lessee berkewajiban membayar kepada lessor secara berkala sesuai dengan jumlah dan jangka waktu yang disetujui.
Lessor dalam jangka waktu perjanjian yang disetujui tidak dapat secarasepihak mengakhiri masa kontrak atau pemakaian barang tersebut.
Lessee pada akhir periode kontrak memiliki hak opsi untuk membeli barangtersebut sesuai dengan nilai sisa atau residual value yang disepakati, ataumengembalikan pada lessor, atau memperpanjang masa lease sesuai dengansyarat-syarat yang disetujui bersama.
Pembayaran berkala pada masa perpanjanngan lease tersebut biasanya jauhlebih rendah daripada angsuran sebelumnya. Leasing dan Fidusia Perjanjian Leasing sebagai perjanjian pokok biasanya diikuti dengan perjanjian assecoir atau perjanjian tambahan yang berfungsi sebagai jaminan atas objek leasing.
Fungsi dari jaminan ini ialah agar posisi Perusahaan Leasing sebagai kreditur menjadi lebih aman seandainya Costumer cedera janji (wanprestasi). Perjanjian jaminan yang digunakan untuk kendaraan bermotor ialah perjanjian jaminan fidusia. Jaminan fidusia sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”).
Pihak Customer akan bertindak sebagai Pemberi Fidusia dan pihak Perusahaan Leasing akan bertindak sebagai Penerima Fidusia. Pasal 1 angka 2 UU JF mengatur sebagai berikut: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” Disebutkan dalam Pasal 4 UU 42/1999 bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (droit de suit) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud dengan “prestasi” dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
Pembebanan benda (dalam hal ini mobil) dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Pembuatan akta jaminan fidusia, dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Eksekusi Apabila Cidera Janji dalam Jaminan Fidusia Apabila debitur cidera janji, maka menurut Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi), yang memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun terkait eksekusi jaminan fidusia tersebut, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi melalui Peputusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 mengatur, jika terjadi cedera janji (wanprestasi), eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri.
Sementara, jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur–atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
Menurut hakim MK, ketentuan ini diputuskan demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Karena selama ini pelaksanaan eksekusi fidusia yang dilaksanakan sendiri oleh kreditor kadangkala muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector.
Sehingga dengan Putusan MK Nomor: 18/PUU- XVII/2019 tersebut, menjadi acuan terkait Leasing yang wajib dipatuhi oleh semua pihak. Menurut hakim, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menjawab Pertanyaan Anda Apabila debitur menunggak angsuran, apakah dibenarkan pihak leasing mengkuasakan pihak ketiga untuk menarik unit kendaraan ?.
Anggsuran memang wajib dibayar berdasar kesepakatan/konsensus para pihak. Nmun adakalanya debitur mengalami kesulitan ekonomi karena berbagai hal. Pada umumnya, untuk mengatasi tunggakan angsuran sebenarnya anda sebagai konsumen dapat membicarakannya dengan pihak perusahaan/leasing untuk meminta kebijaksanaan.
Biasanya manajemen memiliki prosedur/mekanisme kebijakan untuk melakukan restrukturisasi utang. Setelah semua tahap tersebut dilakukan, dan debitur setelah diberi peringatan tetap cedera janji (wanprestasi), baru kemudian dilakukan eksekusi jaminan fidusia, yang wajib dilakukan sesuai prosedur hukum.
Sebagaimana anda sebutkan bahwa pihak leasing dalam melaksanakan hak eksekusi fidusia telah menggunakan/menguasakan kepada pihak ketiga atau kerap disebut debt collector.
Namun, dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019, maka cara penarikan langsung dengan memanfaatkan pihak ketiga tidak diperbolehkan lagi, karena harus melalui Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidakberhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
Pasal 46 UU Perlindungan Konsumen:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
- a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
- b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
- c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu yang berbentuk badan hukun atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila baran/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidaksedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Disclaimer : Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai pendapat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.***Gensa^-^
Sumber : dikutip dari beberapa artikel di internet