Apa Hukum Nya Jika Mobil Lesing Tidak Dikembalikan
Diterbitkan oleh : icuen WhatsApp : 0838 3347 4553 Gensa […]
Diterbitkan oleh : icuen
WhatsApp : 0838 3347 4553
Gensa – Mobil yang masih dalam masa kredit di jual debitur kepada ormas / lsm.
Apakah itu termasuk penggelapan oleh debitur, dan apakah ormas/lsm yg membeli dari debitur bisa dikategorikan sebagai penadah?
Pertanyaan :
Apabila ada tindak pidana, bagaimna cara membuat pengaduan ke polisi?
Apakah akan ada tindak lanjut dari kepolisian mengenai pengaduan tersebut?
Trimakasih
Dijawab oleh : Mursalim, S.H., M.H. (Penyuluh Hukum Ahli Madya)
Dan jika hal tersebut terjadi maka dalam istilah hukum disebut sebagai cedera janji (wanprestasi).
Jika terjadi gagal bayar apalagi kemudian kendaraan dialihkan kepada pihak lain, maka akan merugikan pihak lain khususnya perusahaan (Leasing).
Yang akibatnya berpotensi mendatangkan teguran (somasi) bahkan gugatan.
Hal tersebut akan mendatangkan risiko hukum baik secara perdata mapun pidana. Patut diketahui, bahwa pada dasarnya perikatan/perjanjian adalah bersifat memaksa (imperatif).
Karena kesepakatan/konsensus/perjanjian yang telah dibuat secara syah oleh kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda).
Serta perjanjian wajib laksanakan dengan itikad baik (good faith), tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pengertian Kredit Mobil Secara umum pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian kredit berbunyi :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” Salah satu jenis Kredit yang digemari (trend) yaitu: Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Adalah kredit yang menyediakan fasilitas pembiayaan bagi masyarakat untuk memperoleh mobil/motor baik baru ataupun bekas dengan sistem kredit/cicilan/mengangsur.
Perjanjian KKB menyangkut dua belah pihak, dimana pihak pemberi pinjaman (leasing/bank/kreditur) menyetujui pemberian pinjaman kepada penerima pinjaman (debitur) untuk membeli kendaraan bermotor (mobil/motor).
Kreditur akan menerima kembali uangnya disertai keuntungan tertentu sebagai ganti dari jasa pinjaman yang biasanya berupa bunga.
Kredit dapat diajukan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya (Leasing) yang menyediakan produk pinjaman tersebut.
Umumnya, jaminan yang digunakan dalam KKB adalah kendaraan itu sendiri, sehingga jika Anda gagal bayar, kendaraan tersebut akan disita.
Perjanjian kredit kendaraan bermotor (KKB) tersebut juga harus memenuhi prinsip-prinsip hukum perdata sebagaimana diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Perjanjian tersebut juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian baik segi subyektif maupun obyektif.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Jadi, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Dan kesepakatan/perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang telah membuatnya.(Asas hukum Pacta Sun Servanda) juga berlaku.
Sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (‘KUHPerdata”) mengatur: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dengan demikian apabila para pihak termasuk perusahaan/bank/leasing yang telah menyetujui perjanjian kredit mobil tersebut menyangkut hak dan kewajiban masing-masing adalah terikat untuk mematuhi isi periktan tersebut sebagaimana halnya undang-undang.
Over Kredit Mobil Saat ini, berbagai penawaran kredit kendaraan (mobil dan motor) dengan nilai uang muka/down payment (DP) ringan sudah banyak bermunculan sehingga mendapatkan mobil impian semakin dimudahkan.
Namun kredit mobil tidak cukup dengan down payment (DP) ringan. Yang harus dipikirkan lebih lanjut adalah kemampuan pengutang (debitur) untuk membayar cicilan/kredit setiap bulan.
Membayar angsuran/cicilan merupakan kewajiban debitur kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam kesepakatan/perjanjian yang telah dibuat. Apabila ada pihak yang tidak memenuhi prestasi atau gagal bayar maka dalam hukum dinamakan cedera janji (wanprestasi).
Kadangkala apabila debitur gagal bayar maka dia akan menjual/mengalihkan/over kredit kepada orang lain. Pengertian istilah ‘Over Kredit’.
Over kredit berasal dari kata take over kredit, yang artinya proses pengalihan kepemilikan suatu benda beserta pembayarannya yang masih berada dalam status kredit kepada pihak ketiga. Kegiatan over kredit kendaraan bermotor biasa dilakukan pada masa leasing dalam hal pihak Costumer/Nasabah/Pengaju Leasing (lessee) tidak mampu membayar angsuran kendaraan kepada pihak Bank/Perusahaan Leasing (lessor).
Larangan Over Kredit di Bawah Tangan Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah penjualan/pengalihan kendaraan yang masih dalam masa kredit kepada ormas tersebut dilakukan secara sah atau di bawah tangan yaitu dengan sepengetahuan/persetujuan perusahaan/bank/leasing? Walapun hampir sama, namun mempunyai konsekuensi yang berbeda? Karena bagi masyarakat yang ingin melakukan Over Kredit mobil di bawah tangan kepada pihak ketiga, atau tanpa sepengetahuan bank/leasing harap hati- hati.
Karena ini dapat merugikan diri sendiri. Masalah akan timbul di kemudian hari apabila pihak ketiga tidak membayarkan angsuran/cicilan mobil tersebut. Karena perusahaan/bank/leasing tetap akan meminta pertanggungjawaban kepada pihak kedua (pemilik mobil) sesuai dengan kontrak/perjanjian.
Melakukan transaksi jual/beli, sewa, gadai atau mengalihkan kendaraan bermotor yang masih dalam masa kredit/fidusia tanpa seizin perusahaan pembiayaan itu dilarang. Karena kendaraan bermotor dalam masa kredit dilekatkan dengan jaminan fidusia. Perjanjian Leasing sebagai perjanjian pokok biasanya diikuti dengan perjanjian assecoir atau perjanjian tambahan yang berfungsi sebagai jaminan atas objek leasing.
Fungsi dari jaminan ini ialah agar posisi Perusahaan Leasing sebagai kreditur menjadi lebih aman seandainya Costumer ingkar janji (wanprestasi). Perjanjian jaminan yang digunakan untuk kendaraan bermotor ialah perjanjian jaminan fidusia.
Jaminan fidusia sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”).
Pihak Customer akan bertindak sebagai Pemberi Fidusia dan pihak Perusahaan Leasing akan bertindak sebagai Penerima Fidusia. Pasal 1 angka 2 UU JF mengatur sebagai berikut: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”
Aturan hukum ini dibuat pemerintah, jadi wajib kita taati sebagai warga negara Indonesia. Pasal 4 UU Jaminan Fidusia menyebutkan: “Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”.
Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia menyatakan bahwa Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Berdasarkan pasal ini, pihak Customer dilarang mengalihkan objek leasing tanpa sepengetahuan dan persetujuan Perusahaan/Bank/Leasing.
Salah satu alasan, mengapa ada larangan proses over kredit leasing yang tidak diketahui oleh Perusahaan Leasing (atau sering disebut sebagai over kredit bawah tangan), adalah karena proses tersebut bisa menimbulkan kerugian, terutama bagi pihak Customer awal.
Apabila pihak ketiga tidak membayar leasing dan kemudian menghilang, Perusahaan Leasing akan tetap menagih pembayaran ke Customer awal karena kontrak/perjanjian Leasing sejak semula dilakukan oleh Perusahaan Leasing dan Customer.
Dengan kata lain, Customer awal akan tetap bertanggung jawab atas cicilan pembayaran kendaraan meskipun sudah ada proses over kredit. Menjawab Pertanyaan Anda Apakah itu termasuk penggelapan oleh debitur?, dan apakah ormas yang membeli dari debitur bisa dikatagorikan sebagai penadah? Sebagaimana disampaikan diatas, bahwa kendaraan kreditan dengan sistem pembiayaan leasing disertai dengan jaminan fidusia.
Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia menyatakan bahwa Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia. Berdasarkan pasal ini, pihak Customer dilarang mengalihkan objek leasing tanpa sepengetahuan dan persetujuan Perusahaan/Bank/Leasing.
Untuk itu over kredit/take over apalagi dibawah tangan. Apabila over kredit kendaraan bermotor dilakukan tanpa sepengetahuan Perusahaan/Bank/Leasing, Perusahaan Leasing dapat melaporkan Customer ke kepolisian (secara pidana) dan menggugat Customer (secara perdata).
Sedangkan bagi pembeli yang melanggar bakal dijerat dengan Pasal 480 KUHP tentang penadahan. Untuk diketahui, take over mobil di bawah tangan, tidak menghapuskan kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada perusahaan/bank/leasing.
Pasal 1365 BW menjelaskan, “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Walaupun mobil tersebut sudah berpindah tangan kepada pihak ketiga, debitur yang telah melakukan kontrak/perjanjian kepada bank/leasing tetap bertanggung jawab dalam pelunasan hutang tersebut, karena oper kredit tersebut dilakukan di bawah tangan tanpa sepengetahuan pihak leasing.
Berbeda halnya apabila oper kredit tersebut dilakukan secara sah, atau dengan melakukan pembaharuan perjanjian kredit antara pihak leasing dengan pihak ketiga, maka yang berkewajiban membayarnya adalah debitur yang baru. Apakah ada tindak pidana yg dilakukan oleh debitur dan ormas?.
Apakah akan ada tindak lanjut dari kepolisian mengenai pengaduan tersebut? Sebagaimana dijelaskan diatas, ada tidaknya tindak pidana tergantung cara melakukan penjualan/pengalihan kendaraan yang masih dalam masa kredit tersebut. Apakah dialkukan secara sah atau dibawah tangan?.
Apabila perusahaan/bank/leasing meranggapan terdapat kerugian pada transaksi yang dilakukan debitur tersebut. Maka pihak perusahan/bank/leasing dapat menegur (somasi), menuntut ganti rugi, bahkan melaporkan ke kepolisian.
Laporan Perusahaan Leasing terhadap Customer ke kepolisian akan didasarkan pada Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu mengenai penggelapan (Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah).
Pasal ini digunakan karena kendaraan berada pada Customer dengan cara yang sah/bukan karena kejahatan (leasing) tetapi Customer menguasai barang tersebut dengan cara menjualnya kepada pihak ketiga.
Selain itu, laporan juga bisa didasarkan pada Pasal 36 UU Fidusia, yaitu “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).” Secara perdata,
Perusahaan Leasing akan menggugat Customer atas dasar perbuatan melawan hukum pada pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Apabila klausul mengenai larangan over kredit bawah tangan tercantum pada klausul perjanjian Leasing.
Perusahaan Leasing dapat menggugat Customer atas dasar wanprestasi perjanjian. Perlu diperhatikan, bahwa laporan ke kepolisian (secara pidana) dan gugatan (secara perdata) dapat diajukan secara bersamaan sehingga bisa saja Perusahaan Leasing menempuh kedua jalan tersebut pada waktu yang sama.
Sedangkan bagi pembeli yang melanggar dapat dijerat dengan Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”) tentang penadahan, yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah: 1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya. harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan; 2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
Demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat.
Disclaimer : Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai pendapat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.
Sumber : dikutip dari beberapa artikel di internet