Teknologi

Fenomena Salah Deteksi AI: Seberapa Bisa Dipercaya Alat Deteksi Kecerdasan Buatan

Fenomena Salah Deteksi AI: Seberapa Bisa Dipercaya Alat Deteksi Kecerdasan Buatan – Foto/Freepik

Teknologi – Pada tahun 2023, jagat media sosial dihebohkan oleh unggahan viral yang memperlihatkan tangkapan layar hasil analisis GPTZero. Aplikasi deteksi kecerdasan buatan ini memprediksi bahwa Konstitusi Amerika Serikat (AS) “kemungkinan besar ditulis seluruhnya oleh AI”. Sontak, unggahan ini menjadi perbincangan luas dan menuai beragam reaksi dari masyarakat.

GPTZero sendiri adalah salah satu dari sekian banyak aplikasi yang dikembangkan untuk membedakan teks yang ditulis oleh manusia dan teks yang dihasilkan oleh AI.

Namun, bagaimana bisa dokumen penting seperti Konstitusi AS dikategorikan sebagai tulisan AI? Apakah alat-alat ini cukup akurat dalam mendeteksi hasil kecerdasan buatan? Sejauh mana keandalan teknologi ini dapat dipercaya?

Edward Tian, pencipta GPTZero, dengan cepat memberikan penjelasan terkait fenomena tersebut. Ia menyatakan bahwa kesalahan prediksi ini terjadi karena Konstitusi AS sering digunakan sebagai data pelatihan berbagai model bahasa besar (Large Language Models/LLMs) yang menjadi dasar teknologi AI generatif seperti ChatGPT.

Dengan kata lain, AI telah mempelajari Konstitusi AS secara mendalam, sehingga ketika teks tersebut diuji dengan alat deteksi AI, sistem menafsirkannya sebagai teks yang dibuat oleh AI.

Sayangnya, meskipun penjelasan ini masuk akal, fenomena ini sudah telanjur menjadi bahan perdebatan di berbagai platform.

Pengguna internet pun mulai melakukan eksperimen serupa dengan berbagai teks lainnya, termasuk kitab suci. Salah satu pengujian bahkan menunjukkan bahwa bagian dari Kitab Kejadian ditandai oleh ZeroGPT sebagai 88,2 persen teks yang dihasilkan oleh AI.

Hasil ini semakin menimbulkan keraguan akan akurasi alat pendeteksi AI, terutama di kalangan akademisi yang mengandalkan alat ini untuk mendeteksi plagiarisme dan keaslian karya ilmiah.

Cara Kerja Alat Deteksi AI

Untuk memahami mengapa alat-alat ini bisa membuat kesalahan, kita perlu mengetahui cara kerjanya. Sebagian besar alat deteksi AI menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP).

Baca juga :  Taruna Akmil Go Global: Tampil Keren di Bangkok, Gaungkan Semangat Indonesia di MIMUN 2025

Teknologi ini berbasis pada model bahasa besar (LLMs) yang telah dilatih menggunakan kumpulan data besar dari berbagai sumber tulisan.

Proses deteksi dilakukan dengan membandingkan teks yang diuji dengan pola tulisan yang dihasilkan AI. Jika suatu teks mengikuti struktur yang sangat khas dari hasil keluaran AI, maka alat deteksi akan menandainya sebagai teks buatan mesin. Beberapa indikator utama yang diperiksa oleh alat pendeteksi AI adalah:

  1. Tingkat kebakuan bahasa – Teks AI cenderung sangat baku dan minim variasi.
  2. Pengulangan kata atau frasa – AI sering menggunakan frasa yang sama berulang kali.
  3. Struktur kalimat yang seragam – Tulisan AI cenderung mengikuti pola yang lebih kaku dibandingkan tulisan manusia yang lebih fleksibel dan kreatif.

Beberapa aplikasi pendeteksi AI yang saat ini banyak digunakan, antara lain Turnitin AI Detection, Winston AI, GPTZero, dan ZeroGPT.

Meskipun berbagai pengembang mengklaim tingkat akurasi tinggi, kenyataannya hasil deteksi bisa sangat bervariasi. Sebagai contoh, Turnitin AI Detection mengklaim tingkat akurasi hingga 98 persen.

Namun, laporan dari Washington Post dan The Guardian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya dalam kondisi nyata jauh lebih rendah.

GPTZero, yang sebelumnya viral, juga mengalami tantangan serupa. Pengujian menunjukkan bahwa alat ini memiliki tingkat kesalahan (false positive) sekitar 10 hingga 20 persen, yang berarti bahwa 1 dari 5 teks manusia bisa saja salah diklasifikasikan sebagai buatan AI.

Untuk menguji lebih lanjut, beberapa aplikasi pendeteksi AI diuji menggunakan teks berbahasa Indonesia. Hasilnya menunjukkan variasi akurasi yang cukup mencolok:

  • GPTZero dan Isgen.ai menunjukkan akurasi tinggi untuk teks berbahasa Indonesia dengan tingkat kesalahan 0-3 persen.
  • ZeroGPT memiliki tingkat kesalahan lebih tinggi, hingga 87 persen dalam mendeteksi tulisan manusia sebagai teks AI.
  • Untuk teks yang awalnya dibuat AI lalu diperbaiki oleh manusia, GPTZero lebih sering menilainya sebagai teks manusia, sementara ZeroGPT tetap mengklasifikasikannya sebagai AI (hingga 98 persen).
Baca juga :  Kungfu AI Heboh di TikTok: Teknologi Canggih yang Ubah Foto Jadi Video Bela Diri

Di sisi lain, deteksi dalam bahasa Inggris cenderung lebih akurat dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini bisa dijelaskan oleh fakta bahwa kebanyakan model AI dilatih terutama dengan teks berbahasa Inggris, sehingga ketika diterapkan pada bahasa lain, tingkat akurasinya menurun.

Cara Menghindari Salah Deteksi

Bagi penulis, terutama mahasiswa dan akademisi yang khawatir karya tulis mereka salah dikategorikan sebagai teks AI, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan:

  1. Gunakan gaya bahasa yang lebih alami dan bervariasi.
    • Kombinasikan kalimat panjang dan pendek.
    • Gunakan opini dan ekspresi khas manusia.

  2. Hindari penggunaan kata atau frasa yang terlalu kaku dan berulang.
    • Gunakan sinonim dan variasi kata.
    • Sisipkan elemen unik seperti pengalaman pribadi atau referensi budaya.

  3. Baca ulang dan edit tulisan secara manual.
    • Penyuntingan manual bisa membuat tulisan lebih organik dan tidak terdeteksi sebagai hasil AI.

Sementara itu, dari sisi pengembang alat deteksi AI, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki untuk meningkatkan akurasi:

  • Perluasan dataset pelatihan, terutama untuk bahasa non-Inggris seperti bahasa Indonesia.
  • Perbaikan parameter deteksi, agar tulisan yang formal atau menggunakan bahasa baku tidak langsung dianggap sebagai buatan AI.

Meskipun alat pendeteksi AI dapat membantu mengidentifikasi konten yang dihasilkan AI, teknologi ini masih memiliki banyak keterbatasan.

Hasil analisis yang tidak akurat bisa berdampak besar, terutama bagi akademisi dan profesional yang bergantung pada keakuratan deteksi AI. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya mengandalkan hasil analisis AI, tetapi juga melakukan verifikasi manual.

Sebagai pengguna, kita harus bijak dalam menggunakan alat deteksi AI. Sementara itu, pengembang teknologi ini perlu terus meningkatkan akurasi dengan memperhitungkan faktor-faktor linguistik yang lebih kompleks.

Dengan demikian, kita bisa memanfaatkan teknologi ini secara lebih efektif dan mengurangi risiko salah deteksi yang bisa merugikan banyak pihak.**(sumber: theconversation.com)

Simak berita dan artikel pilihan Gensa Media Indonesia langsung dari WhatsApp Channel, klik disini : "https://whatsapp.com/channel/GensaClub" dan pastikan kamu memiliki aplikasi WhatsApp yaa.
Sebelumnya

Ikan Patin Jadi Andalan Menu Makan Bergizi Gratis di Kampar

Selanjutnya

Dewan Pertahanan Nasional Resmi Dibentuk: Prabowo Tegaskan Pentingnya Keamanan Negara

icuen
Penulis

icuen

Gensa Media Indonesia