Kasus Keracunan Alkohol: Indonesia Catat Rekor Dunia, Apa Penyebab dan Solusinya?
Menurut laporan organisasi kesehatan internasional Médecins Sans Frontières (MSF), hingga awal Januari 2024, tercatat ada 994 kasus keracunan

Opini – Dunia kembali digemparkan oleh tragedi keracunan alkohol yang merenggut enam nyawa wisatawan remaja asal Australia, Denmark, Inggris, dan Amerika Serikat di Laos.
Peristiwa yang terjadi menjelang akhir November 2024 ini menambah panjang daftar korban akibat konsumsi alkohol beracun yang mengandung metanol atau spiritus.
Fenomena ini mengingatkan kita pada tragedi serupa di Indonesia dua bulan sebelumnya, di mana tiga remaja asal Garut, Jawa Barat, tewas setelah mengonsumsi minuman keras (miras) oplosan.
Menurut laporan organisasi kesehatan internasional Médecins Sans Frontières (MSF), hingga awal Januari 2024, tercatat ada 994 kasus keracunan alkohol di dunia yang menyebabkan 40 ribu orang dirawat dan 13 ribu di antaranya meninggal.
Ironisnya, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 339 kasus dalam setahun. Data ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa Indonesia menempati posisi tersebut, dan bagaimana mencegah kasus serupa terjadi di masa depan?
Keracunan alkohol di Indonesia banyak terjadi akibat konsumsi miras oplosan. Teknik penyulingan yang tidak sesuai standar dan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti metanol dan isopropanol menjadi faktor utama.
Produsen miras oplosan sering kali menambahkan zat tersebut untuk meningkatkan efek memabukkan dengan biaya produksi yang lebih murah. Namun, konsekuensinya sangat fatal.
Metanol, misalnya, dapat berubah menjadi formaldehida di dalam tubuh, menyebabkan kerusakan penglihatan hingga kebutaan, bahkan kematian.
Selain metanol, kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) juga menjadi ancaman serius. Pada tahun 2023, kandungan EG/DEG dalam sirup obat batuk di Indonesia menyebabkan kematian 195 anak balita.
EG dan DEG yang seharusnya digunakan dalam produk industri malah disalahgunakan dalam bahan pangan dan obat-obatan karena harganya lebih murah. Dalam tubuh, kedua zat ini dapat merusak ginjal secara permanen dan memicu gagal ginjal akut.
Isopropanol, yang umumnya ditemukan dalam alkohol gosok, juga menjadi bahan oplosan berbahaya. Ketika masuk ke tubuh, isopropanol berubah menjadi aseton yang dapat merusak organ vital.
Keracunan alkohol memiliki dampak yang jauh lebih mengerikan daripada sensasi sesaat yang dihasilkan. Selain kebutaan, kerusakan ginjal, dan gagal organ, kasus ini juga menciptakan beban ekonomi dan psikologis yang besar bagi keluarga korban.
Fenomena ini terus terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya miras oplosan, lemahnya regulasi, dan kurangnya pengawasan terhadap peredaran bahan kimia berbahaya.
Menurut para ahli, keracunan alkohol sering kali disebabkan oleh kurangnya edukasi dan pengawasan yang ketat.
Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan dengan tingkat pendapatan rendah cenderung menjadi konsumen utama miras oplosan karena harganya yang murah.
Faktor lain yang memperparah situasi ini adalah distribusi bahan baku berbahaya yang relatif mudah diakses di pasar gelap.
Hal ini menimbulkan ancaman serius, terutama bagi kelompok usia muda yang belum sepenuhnya memahami risiko konsumsi alkohol oplosan.
Solusi dan Upaya Pencegahan
Untuk mencegah kasus keracunan alkohol berulang, berbagai langkah perlu dilakukan secara simultan. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diterapkan:
- Pengadaan Alat Deteksi Alkohol Beracun Deteksi dini sangat penting untuk mencegah produk tercemar sampai ke konsumen. WHO merekomendasikan penggunaan kromatografi gas untuk mendeteksi cemaran metanol, EG, dan DEG. Namun, metode ini membutuhkan biaya besar dan tenaga ahli. Alternatifnya, pemerintah dapat mengembangkan alat deteksi yang lebih murah dan mudah digunakan di tingkat pabrik hingga konsumen.
Beberapa negara telah mencoba metode alternatif seperti kromatografi lapis tipis yang lebih murah, tetapi tetap memerlukan pelatihan khusus bagi analis laboratorium. Pemerintah Indonesia perlu berinvestasi dalam pengembangan teknologi serupa agar deteksi cemaran alkohol beracun dapat dilakukan lebih cepat dan meluas.
- Pengawasan Ketat oleh BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki peran vital dalam memastikan produk medis dan bahan pangan bebas dari alkohol beracun. Pengawasan terhadap izin peredaran bahan kimia seperti metanol dan isopropanol perlu diperketat. Selain itu, produsen yang terbukti melanggar harus dikenakan sanksi tegas berupa pelarangan operasi dan peredaran produk.
Langkah ini harus diikuti dengan kerja sama lintas kementerian, termasuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan, untuk memutus rantai distribusi bahan kimia berbahaya. Peningkatan jumlah inspeksi dan audit di lokasi produksi juga dapat membantu mengurangi risiko penyalahgunaan bahan baku.
- Kolaborasi Lintas Keilmuan Indonesia dapat mencontoh Inggris yang membangun kolaborasi lintas keilmuan untuk menemukan metode baru dalam mendeteksi dan mengatasi alkohol beracun. Transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia harus diperkuat melalui peran mahasiswa dan peneliti Indonesia yang belajar di luar negeri. Selain itu, kolaborasi ini dapat menghasilkan solusi inovatif dalam pembuatan alat deteksi murah serta pengembangan bahan substitusi yang lebih aman dan ekonomis.
- Edukasi Masyarakat Peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya miras oplosan menjadi kunci utama pencegahan. Pemerintah perlu melibatkan komunitas di tingkat RT/RW dan sekolah untuk menyosialisasikan risiko keracunan alkohol. Edukasi ini sangat penting dilakukan di daerah yang menjadi sentra produksi miras oplosan.
Dalam upaya ini, media massa dan platform digital dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarkan informasi.
Video pendek, kampanye di media sosial, dan pelatihan di sekolah dapat menjadi langkah awal yang efektif.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan agama untuk menyampaikan pesan edukasi ini secara lebih luas.
Keracunan alkohol harus ditangani secepat mungkin. Langkah awal berupa merangsang pasien agar muntah dan memberikan arang aktif untuk menyerap racun.
Jika keracunan melibatkan metanol atau EG, pasien membutuhkan fomepizole, penghambat enzim alcohol dehydrogenase. Pada kasus parah, terapi hemodialisis (cuci darah) diperlukan untuk mengeluarkan racun dari tubuh.
Namun, akses terhadap fomepizole dan fasilitas hemodialisis di Indonesia masih terbatas. Pemerintah perlu meningkatkan ketersediaan obat ini di rumah sakit rujukan, terutama di daerah rawan kasus keracunan alkohol.
Selain itu, pelatihan bagi tenaga medis di daerah terpencil juga harus diperkuat agar penanganan awal dapat dilakukan secara efektif.
Regulasi yang ketat diperlukan untuk mengendalikan distribusi bahan kimia berbahaya seperti metanol, EG, dan DEG.
Pemerintah dapat mengadopsi sistem pelabelan yang lebih transparan dan meningkatkan pengawasan impor bahan baku obat dan pangan.
Penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran harus dilakukan tanpa kompromi, termasuk penerapan sanksi pidana bagi produsen miras oplosan yang menyebabkan kematian.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat memiliki akses ke minuman alkohol yang aman dan legal dengan harga terjangkau.
Langkah ini dapat mengurangi permintaan terhadap miras oplosan, sekaligus menekan angka keracunan alkohol.
Kesimpulan
Kasus keracunan alkohol di Indonesia harus menjadi perhatian serius. Dengan jumlah kasus tertinggi di dunia, langkah preventif dan penegakan hukum yang tegas menjadi sangat krusial.
Edukasi, pengawasan, dan pengembangan teknologi deteksi menjadi kunci untuk menekan angka kematian akibat alkohol beracun.
Jika semua pihak bekerja sama, tragedi keracunan alkohol dapat dicegah, dan masyarakat Indonesia dapat hidup lebih aman dari ancaman ini.
Lebih dari sekadar masalah kesehatan, fenomena keracunan alkohol mencerminkan perlunya transformasi budaya, regulasi, dan sistem pengawasan di Indonesia.
Dengan langkah konkret yang melibatkan semua lapisan masyarakat, kita dapat membangun masa depan yang lebih sehat dan bebas dari tragedi ini.**/red
(bang tama)
Referensi : theconversation.com