Mobil, Utang, dan Harga Diri yang Terenggut: Kisah Bunga dari Bekasi

Fiksi – Bunga (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita berusia 32 tahun yang tinggal di salah satu kawasan padat penduduk di Bekasi.
Ia bekerja sebagai karyawan administrasi di sebuah perusahaan logistik, dengan penghasilan pas-pasan yang sejak setahun terakhir nyaris tak cukup untuk kebutuhan rumah tangga.
Suaminya, Dimas, dulu bekerja sebagai teknisi bangunan.
Namun sejak kecelakaan kerja pada akhir 2024 yang membuat kakinya harus dioperasi dan tidak bisa bekerja seperti biasa, Bunga menjadi tulang punggung keluarga.
Mereka memiliki satu anak berusia lima tahun yang masih membutuhkan banyak perhatian.
Masalah dimulai saat cicilan mobil yang mereka beli dua tahun lalu mulai menunggak.
Awalnya hanya telat sebulan karena biaya pengobatan Dimas, lalu berlanjut dua, tiga bulan hingga sekarang mencapai delapan bulan.
Bunga sudah mencoba mengajukan restrukturisasi, tapi ditolak.
Setiap hari ia menerima panggilan dan pesan dari debt collector yang makin hari makin menekan.
Suatu siang, Bunga ditelepon oleh seseorang bernama Toni. Suaranya terdengar ramah, berbeda dari DC lainnya yang biasanya langsung mengancam.
Toni mengaku bisa “mengamankan” nama Bunga agar tidak terus dikejar-kejar. Tapi tentu, ada syaratnya.
“Kita bisa ngobrol baik-baik. Kalau kamu nggak keberatan, temani aku makan malam. Sisanya aku urus.”
Awalnya Bunga menolak. Tapi teror yang datang setiap hari membuatnya merasa seperti hidup dalam ketakutan.
Beberapa DC lain bahkan sempat datang ke rumah, mengetuk pintu tetangga dan menyebarkan selebaran tentang tunggakan cicilan. Bunga malu bukan main, apalagi Dimas tidak tahu apa-apa.
Ketika Toni kembali menghubunginya seminggu kemudian, Bunga akhirnya menyerah.
“Cuma makan malam, kan?” tanyanya lirih saat itu.
Mereka bertemu di sebuah restoran sederhana di pinggiran Bekasi. Toni bersikap seperti kekasih, menggandeng tangannya, memesan makanan favoritnya, dan membuat Bunga merasa seolah masalahnya akan selesai malam itu juga.
Setelah makan malam, mereka pergi menonton film dan akhirnya menginap di sebuah hotel murah.
Bunga tidak bangga dengan apa yang terjadi malam itu. Ia tahu, ia telah mengkhianati Dimas.
Tapi ia juga merasa tak punya pilihan. Di tengah rasa bersalah dan ketakutannya, Bunga bertahan pada satu hal: tidak ada lagi DC yang datang ke rumah.
Sejak malam itu, Toni terus menghubunginya. Hampir setiap minggu, ia mengajak Bunga untuk bertemu.
Kadang Bunga menolak, mencari alasan agar tak perlu datang. Tapi Toni selalu mengancam.
“Kalau kamu nggak datang, mobil kamu aku tarik minggu ini.”
Dan Bunga kembali luluh.
Waktu berjalan. Bunga mencoba menyisihkan uang untuk melunasi tunggakan, tapi penghasilan bulanan selalu habis sebelum cukup terkumpul.
Ia tak pernah menceritakan apa pun pada suaminya, hanya menumpuk rasa bersalah dan luka di dalam hati.
Sampai pada suatu pagi, di akhir pekan yang sepi, datang dua orang pria tak dikenal mengenakan jaket berlogo perusahaan leasing.
Tanpa basa-basi, mereka menyita mobil yang terparkir di depan rumah.
Bunga memohon, menangis, menjelaskan bahwa ia sedang berusaha membayar, tapi tak digubris.
Dengan panik, ia menelepon Toni. Tapi nomor Toni sudah tidak aktif.
Bunga terduduk di pinggir jalan, menyaksikan mobilnya dibawa pergi.
Bukan hanya benda itu yang lenyap, tapi juga harapan yang ia gantungkan pada “bantuan” Toni selama ini.
Yang lebih menyakitkan, bukan hanya kehilangan kendaraan, tapi kehilangan harga dirinya sendiri.
Hari itu Bunga mengunci diri di kamar seharian. Suaminya bertanya, anaknya menangis karena tak mengerti.
Ia hanya ingin semua ini berakhir. Namun luka yang tertinggal di hati Bunga lebih dalam daripada yang bisa dilihat orang lain.
“Saya hanya ingin ada yang mau mendengarkan… bukan cuma soal mobil saya. Tapi soal kehormatan yang sudah dirampas dan saya tidak tahu harus mulai dari mana untuk bangkit kembali,” ucap Bunga dalam pesan suara yang ia kirimkan ke redaksi.
Untuk Anda yang mengalami kejadian serupa, jangan hadapi sendiri.
Ceritakan pengalaman Anda dan dapatkan bantuan dengan menghubungi Redaksi melalui WhatsApp (pengaduan rahasia dan aman).
Catatan Redaksi:
Cerita ini merupakan fiksi yang diangkat dari peristiwa nyata. Beberapa nama, tempat, dan kejadian telah disamarkan demi menjaga privasi narasumber. Redaksi tidak mendukung tindakan di luar hukum, namun berpihak pada keadilan dan hak-hak korban yang sering kali terpinggirkan.
