Arogansi Petugas MBG dan Ancaman Nyata terhadap Lingkungan Rawa Lumbu
 
Oleh: Supriyatno,
Ketua GMBI KSM Rawa Lumbu
Bekasi – Lingkungan hidup bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan bagi generasi yang akan datang.
Kalimat ini seolah klise, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pihak justru abai terhadap maknanya.
Di tengah hiruk pikuk pembangunan Kota Bekasi, masih ada segelintir pihak yang diduga melakukan pencemaran lingkungan tanpa rasa tanggung jawab.
Kasus dugaan pencemaran yang berasal dari kegiatan MBG milik Yayasan Al Barkah Cipta Insani di Jalan Swadaya II RT 005 RW 04, Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Rawa Lumbu, menjadi contoh nyata bagaimana kesadaran lingkungan kerap dikalahkan oleh kepentingan tertentu.
Alih-alih memberi klarifikasi atau menunjukkan itikad baik, salah satu staf MBG justru memilih bersikap menantang ketika dimintai keterangan oleh warga.
“Laporkan saja ke wali kota, kalau wali kota datang kami siap beri keterangan,” ujarnya dengan nada menantang.
Pernyataan semacam itu jelas menunjukkan arogansi dan ketidakpedulian terhadap keresahan warga sekitar.
Padahal, masyarakat tidak meminta hal yang berlebihan.
Mereka hanya ingin mendapatkan penjelasan dan kejelasan atas dugaan pencemaran yang mungkin telah mengganggu keseimbangan lingkungan di wilayahnya.
Sebagai lembaga yang lahir dari rahim masyarakat bawah, kami di Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) KSM Rawa Lumbu tidak bisa tinggal diam.
Kami mengecam keras sikap tidak kooperatif tersebut dan mendesak agar Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi serta aparat penegak hukum (Gakkum) turun tangan menelusuri kebenaran dugaan ini.
Lingkungan Bukan Sekadar Isu Teknis
Banyak pihak yang sering memandang urusan lingkungan hidup sebagai hal teknis belaka, urusan limbah, saluran air, atau bau menyengat.
Padahal, persoalan lingkungan adalah persoalan hidup dan mati manusia. Ketika air tercemar, tanah rusak, dan udara kotor, maka yang pertama merasakan dampaknya adalah masyarakat kecil di sekitar lokasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) telah ditegaskan bahwa setiap orang atau badan hukum yang dengan sengaja atau lalai mencemari lingkungan dapat dikenai sanksi pidana.
Ini bukan sekadar aturan kaku, tetapi perisai hukum bagi masyarakat untuk melawan ketidakadilan ekologis.
Jika benar MBG melakukan pencemaran, maka tindakan itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
Sebab, mereka yang mencemari lingkungan berarti merampas hak masyarakat untuk hidup sehat.
Sampai saat ini, pihak RT setempat sudah berupaya melakukan pendekatan dengan pengelola MBG, namun hasilnya nihil.
Tidak ada tindak lanjut, tidak ada solusi, dan yang muncul hanyalah kesan pembiaran. Inilah saatnya Pemerintah Kota Bekasi melalui DLH menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap rakyatnya.
Kita tidak butuh janji manis atau surat teguran semu. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tindakan nyata, investigasi lapangan, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Jangan sampai penegakan hukum berhenti di tengah jalan hanya karena pihak terduga pencemar memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau pihak tertentu.
Keadilan lingkungan harus berdiri di atas semua kepentingan. Karena ketika pencemaran dibiarkan, bukan hanya satu RW atau satu kelurahan yang terdampak.
Efeknya bisa meluas, merusak ekosistem, dan menurunkan kualitas hidup warga Bekasi secara keseluruhan.
GMBI Tidak Akan Berdiam Diri
Sebagai organisasi masyarakat yang berkomitmen pada kepentingan rakyat kecil, GMBI KSM Rawa Lumbu akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
Kami telah berkoordinasi dengan aparatur kelurahan Bojong Menteng dan DLH Kota Bekasi untuk memastikan langkah hukum ditempuh sesuai prosedur.
Kami tidak ingin persoalan ini menguap begitu saja seperti banyak kasus lingkungan lainnya yang berakhir tanpa kejelasan.
Kami ingin kepastian: apakah benar terjadi pencemaran, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana pemulihan lingkungannya akan dilakukan.
Menjaga lingkungan bukan tugas pemerintah semata, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.
Namun, ketika ada pihak yang diduga merusak, maka negara wajib hadir untuk menegakkan keadilan.
Kita tidak bisa menunggu sampai sungai menghitam atau udara menjadi beracun baru bertindak. Kepedulian harus dimulai sekarang.
Tidak peduli apakah pelakunya perusahaan besar, lembaga pendidikan, atau yayasan keagamaan, semua harus tunduk pada hukum dan etika lingkungan.
Karena sejatinya, bumi Bekasi yang kita pijak hari ini bukan milik segelintir orang, melainkan milik bersama.
Dan setiap tetes air yang tercemar adalah pengingat bahwa keadilan ekologis tidak boleh ditunda lagi.**/Opini








