Fenomena Pick Me: Mengapa Istilah Ini Ramai di Media Sosial

Opini – Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “Pick Me” menjadi populer di berbagai platform media sosial seperti Twitter, TikTok, dan Instagram.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, yang berusaha mendapatkan perhatian atau validasi dari lawan jenis dengan merendahkan kelompoknya sendiri atau menunjukkan bahwa dirinya “berbeda dari yang lain”.
Contohnya, seseorang mungkin mengatakan, “Aku nggak kayak cewek-cewek lain, aku lebih suka main game daripada dandan.”
Pernyataan semacam ini sering kali dianggap sebagai bentuk perilaku “Pick Me” karena menonjolkan diri dengan cara menjatuhkan perempuan lain demi mendapatkan penerimaan dari laki-laki.
Fenomena ini banyak dikaitkan dengan dinamika sosial generasi muda, terutama Gen Z, yang sangat aktif di dunia digital dan cenderung lebih sadar akan isu-isu sosial seperti feminisme, kesetaraan gender, dan kesehatan mental.
Asal-Usul Istilah “Pick Me”
Istilah “Pick Me” berasal dari frasa “Pick me, choose me, love me”, yang pertama kali populer dalam budaya populer melalui serial televisi Grey’s Anatomy.
Namun, seiring berjalannya waktu, maknanya bergeser menjadi sindiran terhadap individu yang bersikap seolah-olah lebih “layak” dipilih karena menolak norma atau kebiasaan yang umum dalam kelompoknya.
Di media sosial, terutama sejak pertengahan 2010-an, istilah ini digunakan dalam konteks kritik sosial, di mana seseorang dianggap mengorbankan solidaritas kelompok demi mendapatkan pengakuan individu.
Istilah yang paling sering terdengar adalah “Pick Me Girl”, meskipun kini juga muncul varian lain seperti “Pick Me Boy”.
Contoh Perilaku “Pick Me”
Perilaku “Pick Me” bisa dikenali dari pola komunikasi dan sikap tertentu, seperti:
- Merendahkan kelompok sendiri:
- “Aku nggak punya banyak teman cewek, mereka terlalu drama.”
- “Cowok lebih enak diajak nongkrong daripada cewek.”
- Mencari validasi berlebihan dari lawan jenis:
- Menampilkan diri sebagai satu-satunya yang “mengerti cowok.”
- Menolak atribut yang umum dimiliki kelompoknya (contoh: “Aku nggak suka makeup, itu cuma buat cewek yang insecure”).
- Mengklaim superioritas moral atau preferensi yang “anti-mainstream”:
- “Aku nggak kayak cewek lain yang suka drama Korea, aku lebih suka nonton film action.”
Perilaku seperti ini sering kali mendapat kritik dari netizen karena dianggap memperkuat stereotip dan menghambat kemajuan dalam kesetaraan sosial.
Mengapa Fenomena Ini Muncul?
Fenomena “Pick Me” tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari dinamika sosial yang kompleks, termasuk:
- Tekanan untuk menjadi “berbeda” dan istimewa:
Media sosial menciptakan ekosistem di mana setiap orang berlomba menunjukkan identitas uniknya. Dalam proses ini, beberapa orang memilih menunjukkan perbedaan dengan cara membandingkan diri secara negatif dengan kelompoknya. - Norma gender dan ekspektasi sosial:
Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering didorong untuk menyenangkan laki-laki, baik secara penampilan maupun perilaku. Perilaku “Pick Me” bisa menjadi respons terhadap tekanan ini, meskipun dampaknya kontraproduktif. - Kurangnya kesadaran akan solidaritas gender dan empati sosial:
Banyak remaja yang belum memahami pentingnya solidaritas sesama jenis dalam menghadapi diskriminasi atau stereotip. Ketidaksadaran ini membuat mereka terjebak dalam narasi saling menjatuhkan.
Dampaknya Terhadap Relasi Sosial
Perilaku “Pick Me” bisa membawa sejumlah dampak negatif terhadap hubungan sosial, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
1. Merusak Solidaritas Gender
Ketika seseorang merendahkan kelompoknya sendiri demi validasi, hal ini bisa menciptakan polarisasi internal.
Di kalangan perempuan, misalnya, muncul rasa saling curiga atau persaingan yang tidak sehat. Ini menghambat perjuangan bersama untuk mendapatkan perlakuan adil.
2. Menciptakan Standar Ganda
Perilaku “Pick Me” sering kali memperkuat standar ganda terhadap perempuan atau laki-laki.
Contohnya, ketika seorang perempuan meremehkan perempuan lain yang memakai makeup, dia justru memperkuat anggapan bahwa kecantikan alami lebih “bernilai” daripada kecantikan yang diraih lewat usaha, padahal keduanya valid.
3. Menurunkan Rasa Percaya Diri
Remaja yang merasa tidak cocok dengan “standar Pick Me” mungkin merasa tidak cukup baik.
Hal ini bisa berdampak pada kesehatan mental, terutama di usia yang rentan terhadap pencarian jati diri.
4. Mendorong Relasi Tidak Sehat
Dalam hubungan romantis, seseorang dengan pola pikir “Pick Me” cenderung menoleransi perilaku tidak sehat demi disukai.
Ini bisa menyebabkan relasi yang tidak seimbang, di mana salah satu pihak terus-menerus mengorbankan diri.
Bagaimana Menghadapinya?
Fenomena “Pick Me” bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan secara instan, tetapi bisa dihadapi dengan kesadaran sosial yang lebih baik, terutama di kalangan Gen Z yang sangat aktif secara digital.
Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Meningkatkan literasi media sosial:
Remaja perlu memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja dan bagaimana eksistensi diri di platform bisa memengaruhi cara mereka melihat diri sendiri dan orang lain. - Mendorong empati dan solidaritas:
Pendidikan karakter dan diskusi terbuka mengenai gender, persahabatan, dan empati perlu terus dilakukan, baik di sekolah maupun di lingkungan digital. - Menghindari budaya saling serang:
Sebaliknya, ketika melihat seseorang dengan perilaku “Pick Me”, penting untuk tidak langsung menyerangnya, melainkan mengedukasi dengan pendekatan yang konstruktif. - Menghargai keberagaman preferensi tanpa menjatuhkan yang lain:
Menyukai hal berbeda itu sah-sah saja. Yang jadi masalah adalah ketika seseorang merasa lebih unggul karena perbedaannya.
Kesimpulan
Istilah “Pick Me” bukan sekadar tren internet, melainkan cerminan dari dinamika sosial yang kompleks di era digital.
Bagi Gen Z dan pengguna media sosial, memahami arti “Pick Me” dan mengenali dampaknya adalah langkah awal untuk menciptakan ruang sosial yang lebih sehat, inklusif, dan empatik.
Tidak ada yang salah dengan menjadi diri sendiri, tapi akan jauh lebih baik jika itu dilakukan tanpa menjatuhkan orang lain.
Yuk, jadikan media sosial sebagai tempat berbagi, bukan saling menjatuhkan.
Kalau kamu pernah merasa terjebak dalam pola “Pick Me” atau melihat temanmu mengalaminya, coba mulai diskusi terbuka dan bangun empati bersama.
Bagikan artikel ini jika kamu merasa topik ini penting untuk dibahas.**/
