Perusakan Rumah Ibadah di Padang: Luka Batin bagi Toleransi Kita

Oleh: AYS Prayogie
Indonesia kembali terusik oleh peristiwa yang melukai nurani kebangsaan. Minggu petang, 27 Juli 2025, sekelompok massa menyerbu rumah ibadah Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Padang, Sumatera Barat. Mereka bukan hanya menghentikan ibadah yang sedang berlangsung, tetapi juga menghancurkan kursi, kaca, dan rasa aman jemaat yang terdiri dari orang dewasa hingga anak-anak. Tangisan histeris anak-anak yang terekam dalam video amatir menjadi saksi betapa rapuhnya perlindungan negara terhadap kebebasan beragama warganya.
Peristiwa ini terjadi di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah. Puluhan orang datang membawa balok kayu, menerobos ibadah, dan meninggalkan jejak ketakutan yang sulit terhapus. Bagi saya, ini bukan sekadar perusakan fasilitas. Ini adalah alarm keras: toleransi kita sedang diuji di titik paling mendasar.
Ironisnya, ini bukan insiden tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, kita berulang kali mendengar kasus serupa — penolakan izin rumah ibadah, perusakan tempat sembahyang, hingga pengusiran jemaat dari kampung sendiri. Padang kini hanya satu titik di peta panjang masalah intoleransi yang menyebar di berbagai daerah.
Padahal, kita kerap membanggakan Pancasila sebagai perekat bangsa. Tapi apa arti Pancasila jika sila pertama — Ketuhanan Yang Maha Esa — justru dilukai dengan kebencian terhadap cara orang lain menyembah Tuhannya?
Kasus di Padang seharusnya menjadi momentum pemerintah, aparat, dan masyarakat untuk jujur bercermin. Mengapa intoleransi seperti ini terus berulang? Di mana fungsi negara yang seharusnya menjamin keamanan setiap warga tanpa diskriminasi?
Kita tidak boleh sekadar mengecam lalu lupa. Pelaku perusakan harus diproses hukum seadil-adilnya. Bukan demi balas dendam, tetapi demi pesan tegas: kebebasan beragama adalah hak konstitusional, bukan hadiah mayoritas.
Sebagai warga bangsa, kita pun punya PR besar. Toleransi bukan cuma jargon di baliho atau kata manis di pidato peringatan hari besar. Toleransi adalah praktik sehari-hari: menerima perbedaan, menjaga tetangga yang berbeda iman, dan menolak ajakan kebencian sekecil apa pun.
Jika kita gagal membangun kesadaran ini, maka insiden Padang hanya akan menjadi awal dari luka-luka berikutnya.
Cijantung, 30 Juli 2025
Penulis adalah Wartawan Senior Media Syber, CEO HI-NETWORK, Pemimpin Redaksi portal berita Hitvberita.com, dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Media Independen Online (MIO) Indonesia.
