Pagar Laut Bekasi: Dari Kontroversi Pemilik Hingga Penyegelan Oleh KKP
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, menyatakan bahwa KKP belum pernah mengeluarkan izin untuk kegiatan

Bekasi – Setelah kasus pagar laut di Tangerang, perhatian kini tertuju pada pagar laut di Bekasi yang memicu polemik. Pagar ini membentang sepanjang dua kilometer dengan lebar 70 meter di perairan Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Keberadaannya yang kontroversial tidak hanya menyusahkan nelayan, tetapi juga memicu tindakan tegas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berikut enam fakta penting terkait pagar laut Bekasi;
1. Siapa Pemilik Pagar Laut Bekasi?
Berbeda dengan pagar laut di Tangerang yang masih misterius, pagar laut Bekasi diketahui dimiliki oleh dua perusahaan swasta, yaitu PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) dan PT Mega Agung Nusantara (MAN).
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Perikanan Muara Ciasem pada DKP Jawa Barat, Ahman Kurniawan, pagar ini dibangun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan kedua perusahaan tersebut sejak 2023.
“Kerja sama ini bertujuan untuk penataan alur Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Paljaya yang sedang dibangun,” ujar Ahman pada Selasa, 14 Januari 2025 seperti dilansir dari tempo.co
Kerja sama ini direncanakan berlangsung hingga 2028. Ahman menambahkan bahwa proyek ini juga mencerminkan sinergi antara pemerintah daerah dan pihak swasta untuk mendukung pengelolaan kelautan yang lebih terarah dan terstruktur.
2. Alasan Dibangunnya Pagar Laut
Ahman menjelaskan, pagar laut dibuat untuk memfasilitasi pembangunan alur PPI Paljaya. Proyek ini dirancang agar nelayan memiliki jalur khusus yang memudahkan aktivitas bongkar muat hasil tangkapan ikan.
Alur tersebut direncanakan sepanjang 5 kilometer dengan lebar 70 meter dan kedalaman 5 meter, mencakup total luas sekitar 50 hektare.
Pembangunan ini juga melibatkan sejumlah pihak teknis untuk memastikan bahwa jalur yang dibuat sesuai dengan standar internasional.
Selain itu, kawasan pelabuhan akan dilengkapi dengan tiga jenis fasilitas, yaitu fasilitas pokok (alur pelabuhan, dermaga, dan mercusuar), fasilitas penunjang (perkantoran), dan fasilitas umum (kamar mandi dan masjid).
“Dengan kesepakatan ini, visi DKP Jabar untuk menata kawasan pelabuhan dapat berjalan seiring dengan tujuan bisnis investor,” tambah Ahman.
Ahman juga menjelaskan bahwa proyek ini bertujuan untuk menciptakan pusat ekonomi baru di wilayah pesisir Bekasi.
Dengan pelabuhan yang tertata, pemerintah berharap aktivitas perikanan menjadi lebih efisien, mendukung pengelolaan hasil laut yang berkelanjutan, dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat.
3. KKP Nyatakan Pagar Laut Tak Berizin
Namun, KKP menegaskan bahwa pagar laut ini tidak memiliki izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, menyatakan bahwa KKP belum pernah mengeluarkan izin untuk kegiatan pemagaran tersebut.
“Kami belum menerbitkan PKKPRL untuk pagar bambu ini,” kata Doni saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 14 Januari 2025. Menurutnya, proyek ini seharusnya dihentikan hingga izin yang diperlukan terpenuhi.
Pernyataan ini memunculkan pertanyaan terkait koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat dalam mengelola proyek-proyek besar yang melibatkan ruang laut.
4. KKP Pernah Meminta Penghentian Pembangunan
KKP telah menyampaikan peringatan resmi pada 19 Desember 2024 agar kegiatan pemagaran dihentikan. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, menjelaskan bahwa pihaknya juga melakukan pengumpulan data lapangan.
Meski demikian, aktivitas di lokasi pagar laut tetap berlanjut hingga akhirnya KKP mengambil langkah tegas.
Pung Nugroho menegaskan bahwa setiap kegiatan yang menggunakan ruang laut harus melalui proses perizinan yang ketat.
Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dan memastikan bahwa setiap proyek memberikan manfaat nyata tanpa merugikan masyarakat lokal.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
5. Penyegelan Oleh KKP
Pada Rabu, 15 Januari 2025, KKP menyegel pagar laut tersebut. Papan segel dari Direktorat Jenderal PSDKP dipasang di lokasi, dan semua aktivitas dihentikan sejak pukul 12.00 WIB.
Pung Nugroho mengungkapkan, keputusan penyegelan diambil setelah menemukan alat berat masih beroperasi di lokasi meskipun peringatan sudah diberikan.
“Kami sudah peringatkan sejak Desember, tapi kegiatan masih berlangsung. Maka dari itu, kami segel,” tegasnya.
Penyegelan ini diharapkan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang mengabaikan regulasi terkait pemanfaatan ruang laut.
Langkah ini juga menjadi bukti komitmen KKP dalam menjaga kelestarian sumber daya kelautan Indonesia.
6. Menyulitkan Nelayan Lokal
Keberadaan pagar laut ini menimbulkan dampak besar bagi nelayan setempat. Salah seorang nelayan, Mitun (28), mengaku harus menempuh jalur memutar untuk menuju lokasi penangkapan ikan, yang sebelumnya dapat diakses langsung.
“Jalurnya jadi jauh, biaya bahan bakar pun meningkat. Akhirnya, saya memutuskan berhenti jadi nelayan,” keluhnya. Kini, Mitun beralih profesi menjadi pemandu wisata Sungai Jengkem.
Selain itu, warga sekitar mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi terkait pembangunan pagar laut. “Tiba-tiba pagar itu sudah ada. Kami bingung asal-usulnya,” ujar Mitun.
Kondisi ini menunjukkan kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat terkait proyek yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Dampak lainnya adalah peningkatan biaya operasional nelayan yang masih bertahan. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa menjual perahu karena tidak mampu menanggung biaya bahan bakar yang terus meningkat. Situasi ini memicu keresahan di kalangan nelayan yang berharap ada solusi konkret dari pemerintah.
Kesimpulan
Kasus pagar laut Bekasi menggambarkan kompleksitas pengelolaan ruang laut yang melibatkan banyak pihak. Meski memiliki tujuan positif dalam mendukung pembangunan pelabuhan, kurangnya izin dan minimnya sosialisasi kepada warga setempat menjadi persoalan besar.
Kini, dengan penyegelan oleh KKP, diharapkan ada solusi yang lebih baik untuk mendukung nelayan sekaligus menyelesaikan konflik kepentingan di kawasan tersebut.
Lebih jauh, kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya komunikasi yang transparan, perizinan yang sesuai, dan koordinasi antar lembaga pemerintah.
Pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat lebih bersinergi untuk memastikan setiap proyek besar memberikan manfaat maksimal tanpa mengorbankan hak masyarakat lokal, khususnya nelayan yang sangat bergantung pada sumber daya laut.
(bang tama/red)