Polisi Bongkar Kasus Perdagangan Orang, WNI Dijadikan Pengantin Pesanan
Perjanjian tersebut pada intinya mengatur pernikahan antara pria asing dengan perempuan WNI. Karena bahasa yang digunakan tidak dipahami
Jakarta – Polisi berhasil membongkar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan modus mail order bride atau pengantin pesanan. Dalam pengungkapan ini, sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Kasus tersebut terungkap setelah penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya menerima informasi tentang lokasi penampungan korban di wilayah Pejaten dan Cengkareng.
“Dari penindakan di dua TKP tersebut, kami mengamankan empat warga negara Indonesia, khususnya perempuan, salah satunya masih di bawah umur. Para korban berasal dari Jawa Barat dan Kalimantan Barat,” ungkap Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/12).
Dalam pengungkapan ini, polisi berhasil menangkap sembilan tersangka yang memiliki peran berbeda dalam komplotan. Tersangka utama, MW alias M (28), adalah WNI yang menetap di China. Ia berperan sebagai penghubung utama antara korban dan pria asing yang menjadi calon suami pesanan.
Dua tersangka lainnya, BHS alias B (34) dan NH (60), bertugas mengurus pemalsuan identitas korban. Sementara itu, tersangka LA (31), Y alias I (44), AS (31), RW (34), H alias CE (36), dan N alias A (56) berperan sebagai sponsor yang mencari, merekrut, dan menampung para calon pengantin perempuan di Indonesia.
Para tersangka menggunakan modus membuat perjanjian pernikahan dalam bahasa asing untuk mengecoh korban. Perjanjian ini mengikat korban dalam situasi tanpa mereka sadari sepenuhnya.
“Perjanjian tersebut pada intinya mengatur pernikahan antara pria asing dengan perempuan WNI. Karena bahasa yang digunakan tidak dipahami korban, mereka dengan mudah dieksploitasi,” jelas Wira.
Lebih dari itu, komplotan ini memalsukan identitas korban, termasuk mengubah data usia. Korban yang sebenarnya masih di bawah umur diubah menjadi seolah-olah sudah dewasa, sehingga pernikahan dapat dilakukan tanpa hambatan hukum.
Kombes Wira menyebutkan bahwa para pelaku meraup keuntungan besar dari aktivitas ilegal ini. “Dari kegiatan tersebut, tersangka mendapatkan keuntungan antara Rp35 juta hingga Rp150 juta per korban, tergantung pada kondisi dan latar belakang korban,” ungkapnya.
Dalam penggerebekan, polisi menyita sejumlah barang bukti yang memperkuat dugaan tindak pidana ini. Bukti-bukti tersebut meliputi paspor, ponsel, kartu identitas, foto pernikahan, hingga surat keterangan belum menikah.
Kini, kesembilan tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Mereka dijerat dengan Pasal 4 dan/atau Pasal 6 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancaman hukuman maksimal untuk kejahatan ini adalah 15 tahun penjara.
Kasus ini menjadi peringatan keras terhadap modus perdagangan orang yang semakin kompleks. Polisi mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap tawaran pekerjaan atau pernikahan yang mencurigakan, terutama bagi perempuan di wilayah rentan.
“Kami akan terus memantau dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan orang. Penegakan hukum menjadi komitmen kami untuk melindungi hak asasi manusia, khususnya perempuan dan anak-anak,” tegas Kombes Wira.
Pengungkapan kasus ini juga menjadi langkah penting dalam upaya mencegah eksploitasi lebih lanjut terhadap perempuan Indonesia. Masyarakat diharapkan berperan aktif melaporkan segala bentuk kegiatan mencurigakan yang berpotensi menjadi tindak pidana perdagangan orang.
(red/*)
Sumber : cnnindonesia.com
Editor: Nadya