Bisnis Gelap Obat Keras Daftar G di Jagakarsa Diduga Dilindungi Oknum Aparat

Jakarta Selatan – Praktik ilegal jual beli obat keras tanpa izin resmi kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Jakarta Selatan.
Di balik warung kelontong sederhana di kawasan Jagakarsa, tersimpan bisnis gelap penjualan Tramadol dan Hexymer yang dijual bebas kepada masyarakat tanpa resep dokter.
Kegiatan ini terungkap setelah tim media melakukan investigasi langsung ke lokasi.
Penjaga toko bernama Reja (nama samaran) mengaku telah bekerja di tempat tersebut selama dua bulan terakhir.
Ia menyebut hanya sebagai pekerja dengan upah Rp1 juta per bulan, termasuk uang makan.
“Minimal udah dua bulan. Saya cuma kerja di sini, gajinya satu juta sebulan sama uang makan,” ujar Reja saat ditemui tim media.
Harga yang dipatok pun tergolong murah.
Satu klip Excimer berisi enam butir dijual Rp7.000, sementara satu lempeng Tramadol dilepas Rp30.000.
Dalam sehari, omzet toko diperkirakan mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta, terutama pada akhir pekan.
Lebih mengejutkan, Reja mengungkap bahwa praktik tersebut diketahui oleh lingkungan sekitar, bahkan diduga mendapat “perlindungan” dari oknum aparat kepolisian dan pejabat lain.
“Dari RT-nya, RW-nya itu tahu. Ada inisial IM oknum dari Polres Jakarta Selatan. Saya sudah kordi, bang,” ungkapnya.
Reja juga menyebut adanya oknum dari Dinas Kesehatan yang kerap datang setiap bulan dan menerima “uang rokok” sebesar Rp100 ribu.
“Sebulan sekali datang, pakai baju batik. Dikasih seratus ribu,” tambahnya.
Lebih jauh, Reja mengaku pernah diamankan oleh pihak Polsek Jagakarsa,
namun dilepaskan kembali tanpa proses hukum.
Ia menduga ada campur tangan dari atasannya yang disebut bernama Bang Damar, warga asal Aceh, yang diduga mengendalikan beberapa titik penjualan obat keras di wilayah tersebut.
“Bosnya Bang Damar, orang Aceh. Banyak toko lain juga, beda-beda tempat,” jelasnya.
Praktik penjualan obat keras tanpa izin jelas melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 196 dan 197, yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjualbelikan obat keras tanpa izin edar dapat dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.
Selain itu, kegiatan tersebut juga melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2017 yang menegaskan bahwa obat keras hanya boleh dijual di apotek dengan resep dokter dan di bawah pengawasan tenaga farmasi.
Apabila benar ada keterlibatan oknum aparat, maka hal itu merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum, bukan melindungi pelaku kejahatan.
Keterlibatan aparat semacam itu juga dapat dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang melakukan tindakan melawan hukum demi keuntungan pribadi atau pihak lain.
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan dugaan praktik “main mata” antara oknum aparat, pejabat dinas, dan pelaku lapangan.
Alih-alih diberantas, bisnis obat keras ilegal justru terus tumbuh di tengah masyarakat.
Tim media berkomitmen menelusuri lebih jauh jaringan di balik praktik ini dan akan meminta Polda Metro Jaya, Mabes Polri, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, serta BPOM untuk segera menindaklanjuti temuan tersebut demi melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan obat keras.**/Red
