Sidang PK Kasus Fadilah Azmi: Kuasa Hukum Ungkap Dugaan Kekeliruan Hakim

Bekasi – Pengadilan Negeri (PN) Bekasi kembali menggelar sidang Peninjauan Kembali (PK) perkara pidana atas nama Fadilah Azmi Fauzan (18), seorang pelajar asal Pondok Ungu, Medan Satria, Kota Bekasi, yang sebelumnya divonis 7 tahun penjara atas dugaan keterlibatan dalam kasus tawuran pelajar.
Sidang PK ini digelar setelah pihak keluarga dan kuasa hukum menilai telah terjadi kekeliruan nyata dalam pertimbangan hukum serta kelemahan alat bukti pada putusan sebelumnya.
Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Bekasi, Jalan Pangeran Jayakarta, pada Rabu (8/10/2025).
Berdasarkan surat panggilan resmi Nomor 4/PK/Akta.Pid/2025/PN.Bks. jo. Nomor 24/Pid.Sus/2024/PN.Bks, sidang dihadiri oleh penasihat hukum terpidana, Achmad Sabri, S.H., S.Tmk., M.H, dari kantor hukum A.S.A Indonesia & Partners, serta keluarga terdakwa yang hadir memberikan dukungan moral.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Sabri menjelaskan alasan pihaknya mengajukan Peninjauan Kembali.
Menurutnya, terdapat kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata yang berpengaruh terhadap putusan sebelumnya.
“Kami menilai banyak pertimbangan hukum dari saksi-saksi yang justru menguntungkan terdakwa, tetapi diabaikan oleh majelis hakim. Karena itu, kami ajukan Peninjauan Kembali,” ujar Sabri seusai sidang.
Sabri menuturkan, sejumlah kejanggalan dalam proses pembuktian menjadi dasar kuat pengajuan PK.
Pertama, keterangan saksi utama dinilai tidak terbukti secara sah karena tidak didukung dengan pemeriksaan digital forensik terhadap alat komunikasi yang dijadikan dasar dakwaan.
“Handphone yang disebut sebagai alat komunikasi tidak pernah disita oleh penyidik, tidak ada validasi data log, dan tidak ada bukti screenshot. Semua hanya berdasarkan keterangan lisan tanpa bukti digital,” tegasnya.
Selain itu, Sabri mengkritisi lemahnya alat bukti fisik yang digunakan jaksa dalam persidangan.
“Celurit yang disebut sebagai alat bukti tidak pernah ditunjukkan di persidangan. Pelaku utama bahkan dinyatakan DPO tanpa berita acara pencarian. Rekonstruksi kejadian pun tidak pernah dilakukan, padahal itu penting untuk menguji kebenaran keterangan saksi,” tambahnya.
Kuasa hukum juga menyoroti status hukum Fadilah yang masih di bawah umur saat kejadian.
Berdasarkan data, saat peristiwa berlangsung, Fadilah masih berusia 17 tahun dan berstatus pelajar aktif.
“Seharusnya, proses hukum terhadap Fadilah dilakukan melalui peradilan anak, bukan peradilan umum. Saat itu dia masih sekolah dan baru akan menghadapi ujian. Sekarang masa depannya terhenti karena proses hukum yang tidak adil,” tutur Sabri dengan nada prihatin.
Menurutnya, PK ini bukan hanya bentuk perlawanan hukum, melainkan upaya mencari keadilan substantif bagi seorang anak yang diduga menjadi korban salah prosedur dan salah tafsir hukum.
Keluarga Yakin Terjadi Salah Tangkap
Sementara itu, Ismanto, ayah dari Fadilah, menyatakan keyakinannya bahwa anaknya tidak terlibat dalam tawuran yang menewaskan korban.
Ia menegaskan, Fadilah berada di rumah saat kejadian berlangsung.
“Saya yakin anak saya tidak bersalah. Waktu kejadian, dia ada di rumah, nonton TV sama saya. Banyak saksi yang tahu itu,” ungkap Ismanto dengan suara bergetar.
Ia mengaku telah berjuang sejak proses pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, namun hasilnya selalu mengecewakan.
“Saya hanya ingin anak saya bebas. Dari Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung, kami kalah terus. Tapi saya yakin Tuhan tahu kebenarannya,” ujarnya.
Kini, Fadilah masih menjalani masa tahanan di Lapas Bulak Kapal, Bekasi.
Ismanto mengatakan bahwa kondisi anaknya memprihatinkan.
“Dia makan seadanya, beli nasi tiap hari. Kalau memang salah, saya nggak akan bela. Tapi kalau tidak bersalah, masa depannya jangan direnggut begitu saja,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Sidang PK ini menjadi harapan terakhir bagi keluarga dan tim kuasa hukum untuk membuktikan adanya kekeliruan dalam proses hukum sebelumnya.
Sabri menegaskan bahwa langkah hukum ini sepenuhnya sesuai dengan KUHAP Pasal 263, yang memberikan ruang bagi terpidana untuk mengajukan PK apabila terdapat kekhilafan hakim atau bukti baru (novum).
“PK ini adalah hak hukum terakhir untuk mengoreksi putusan pengadilan yang keliru. Hakim pun manusia yang bisa khilaf, dan hukum harus memberi ruang untuk memperbaiki kekeliruan itu,” tutup Sabri.
Dengan berlangsungnya sidang PK ini, publik menanti apakah pengadilan akan membuka lembar baru keadilan bagi Fadilah Azmi Fauzan, seorang pelajar yang masa depannya kini bergantung pada hasil sidang Peninjauan Kembali tersebut.**/red
Catatan Redaksi:
(Berita ini disusun berdasarkan asas keberimbangan, kebenaran, dan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Setiap pihak yang disebutkan berhak memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi terhadap pemberitaan ini.)
