LSM Pijar Keadilan Demokrasi Geruduk Kementerian PU dan ATR/BPN
Jakarta – Suasana di kawasan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) serta Kementerian ATR/BPN, Kamis (04/12/2025), berubah mencolok sejak pagi pukul 09.00 WIB.
Puluhan massa dari LSM Pijar Keadilan Demokrasi bersama Pergerakan Keadilan Masyarakat Papua mulai memadati depan gedung kementerian, membawa poster dan spanduk bertuliskan “Matinya Keadilan di Provinsi Papua.”
Aksi ini digelar untuk menuntut penyelesaian hak ulayat Suku Ireeuw terkait pembangunan Kampung Nelayan Hamadi di Kota Jayapura, sebuah proyek yang mereka nilai mengabaikan hak adat yang sah.
Di bawah terik matahari Jakarta, suara toa berulang kali menggema, memecah suasana pagi yang biasanya tenang. Para orator naik bergantian, sementara petugas keamanan berjaga di pintu gerbang. Dari balik pagar, sejumlah pegawai kementerian tampak memantau jalannya demonstrasi.
Ketika Rizal Muin, Koordinator Lapangan aksi, naik ke atas mobil komando, kerumunan massa langsung merapat. Dengan map berisi dokumen pernyataan sikap dan dasar hukum adat, Rizal berdiri tegap menghadap peserta aksi dan awak media.
“Kami datang jauh-jauh dari Papua untuk menuntut keadilan. Tanah ulayat ini bukan tanah kosong, ini tanah hidup kami! Negara tidak boleh menutup mata atas hak masyarakat adat,” seru Rizal lantang, disambut tepuk tangan dan sorakan dukungan.
Rizal menegaskan bahwa dugaan perampasan tanah adat “Oh Yap”—yang disebut sebagai milik Suku Ireeuw dan telah dilepaskan secara adat kepada dirinya berdasarkan keputusan Keondofaan Tobati Enggros, tidak bisa dibiarkan berlarut.
“Kementerian PU harus bertanggung jawab. Jangan jadikan pembangunan sebagai alasan untuk menginjak hak ulayat yang sah secara adat. Kami meminta pembayaran ganti rugi segera dilakukan tanpa alasan lagi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dugaan pengabaian prosedur hukum dalam pelaksanaan proyek pembangunan jerambah Kampung Nelayan Hamadi.
“Tanah ‘Oh Yap’ tidak pernah melalui pembebasan resmi, tidak ada pelepasan adat yang benar. Tapi dipaksa dimasukkan sebagai aset negara. Ini pelanggaran nyata. Jika pusat membiarkan hal seperti ini, berarti negara sendiri sedang merusak hukum adat yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.”
Selama sekitar dua jam aksi berlangsung, massa menyampaikan dua tuntutan utama:
- Pengakuan mutlak hak ulayat masyarakat adat Papua, khususnya tanah milik Suku Ireeuw, sesuai dengan UUD 1945, UU Pokok Agraria, dan UU Otonomi Khusus Papua.
- Tuntutan kepada Menteri PU untuk segera membayar ganti rugi tanah milik Dominggus Ireeuw dan Rizal Muin yang terdampak pembangunan jerambah Kampung Nelayan Hamadi.
Usai melakukan aksi di Kementerian PU, massa bergerak menuju kantor ATR/BPN. Hujan deras yang turun di kawasan tersebut tidak menyurutkan semangat para demonstran. Basah kuyup oleh hujan, mereka tetap mengangkat pengeras suara dan menyampaikan tuntutan dengan suara yang sama lantangnya.
Menutup rangkaian demonstrasi, Rizal kembali memberikan pernyataan dengan kondisi tubuh yang telah basah oleh hujan.
“Selama keadilan untuk masyarakat adat belum ditegakkan, kami akan terus kembali ke sini. Kami tidak akan berhenti,” ujarnya tegas sebelum massa akhirnya membubarkan diri secara perlahan.
Aksi hari ini menegaskan kembali bahwa masyarakat adat Papua tidak akan tinggal diam ketika tanah leluhur mereka dianggap diabaikan oleh negara.







