LSM KOMPI Laporkan Dugaan Penyimpangan Anggaran BBM DLH Bekasi ke Kejaksaan

Bekasi — Awan dugaan penyimpangan anggaran kembali menaungi Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Kali ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menjadi sorotan setelah Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Masyarakat Peduli Indonesia (KOMPI) melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran belanja bahan bakar minyak (BBM) ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi.
Laporan tersebut menyoroti pengadaan BBM di UPTD TPA Burangkeng selama tiga tahun berturut-turut — 2022, 2023, dan 2024 — yang dinilai sarat dengan kejanggalan, bahkan berpotensi merugikan keuangan negara hingga puluhan miliar rupiah.
Sekretaris DPP LSM KOMPI, Diego Sadewo, mengatakan laporan ini disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk mengawal transparansi keuangan publik.
Ia menegaskan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengungkap sejumlah temuan serius terkait pengadaan BBM tersebut.
“Ada indikasi kuat terjadinya mark-up harga, laporan fiktif, dan praktik gratifikasi dalam proses pengadaan BBM. Ini harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum agar tidak terus menjadi kebiasaan yang merugikan negara,” ujar Diego, Kamis (25/9/2025).
Pada tahun 2022, DLH Bekasi menunjuk langsung PT TPW sebagai penyedia BBM dengan nilai kontrak Rp12,9 miliar.
Namun, penunjukan itu dinilai tidak mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET) Pertamina, sehingga menimbulkan pemborosan hingga Rp4,82 miliar.
Ironisnya, PT TPW bukan agen resmi Pertamina. Dari total 74 surat jalan pengiriman BBM, hanya lima pengiriman yang benar-benar dilakukan.
Selebihnya diduga dokumen fiktif. Tak berhenti di situ, PT TPW disebut rutin “mengembalikan” 8.000 liter BBM per bulan kepada oknum pejabat DLH dengan nilai mencapai Rp1,9 miliar, disertai pemberian uang tunai Rp30 juta di awal kontrak dan Rp8 juta per bulan sepanjang tahun berjalan.
Masuk ke tahun 2023, pola serupa kembali muncul. DLH kembali melakukan penunjukan langsung terhadap PT SIAR, namun perusahaan itu ternyata dipinjam namanya oleh seorang perantara berinisial ES, dengan imbalan fee 1% dari nilai kontrak.
Nilai kontrak pengadaan BBM tahun itu mencapai Rp7,34 miliar, yang melibatkan sejumlah pihak perantara — mulai dari PT AJP hingga PT MME yang mengaku sebagai agen Pertamina.
Namun, konfirmasi dari PT Pertamina Patra Niaga menegaskan bahwa PT MME tidak tercatat sebagai agen resmi.
Dari hasil pemeriksaan, ditemukan adanya potongan harga dan aliran fee ke pihak perantara mencapai lebih dari Rp1,1 miliar.
Sementara pada tahun 2024, pengadaan BBM Bio Solar kembali bermasalah. BPK mencatat adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp1,61 miliar.
Tak hanya itu, data penggunaan BBM 195 unit kendaraan pengangkut sampah yang tercatat di aplikasi MyPertamina tidak sesuai dengan laporan yang dibuat DLH.
Diego menegaskan, seluruh praktik tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Baik pemberian fee, penerimaan uang, maupun penyalahgunaan wewenang dapat dijerat dengan pasal-pasal suap dan gratifikasi. Ancamannya bisa sangat berat, termasuk hukuman penjara seumur hidup dan perampasan aset,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa BPK memiliki kewenangan memberi rekomendasi administratif yang wajib ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
“Kami berharap Kejaksaan Negeri Bekasi, khususnya bidang pidana khusus, dapat segera menindaklanjuti laporan ini. Kasus ini menyangkut uang rakyat, dan tidak boleh dibiarkan berulang,” pungkas Diego.
LSM KOMPI menilai, penyimpangan anggaran BBM di DLH Bekasi menunjukkan lemahnya pengawasan dan integritas aparatur daerah.
Mereka menegaskan, penegakan hukum yang tegas adalah satu-satunya cara untuk memutus mata rantai praktik korupsi di tubuh birokrasi daerah.
