Krisis Iklan Picu PHK Massal di Industri Media: Sekitar 1.200 Karyawan Terdampak

PHK – Industri media massa nasional tengah menghadapi badai krisis. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Pers, sekitar 1.200 karyawan media harus menerima kenyataan pahit berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024.
Angka ini diperkirakan akan terus bertambah apabila kondisi keuangan perusahaan media tidak segera membaik.
Gelombang PHK ini tidak terjadi secara tiba-tiba.
Penurunan pendapatan perusahaan media menjadi pemicu utama.
Salah satu indikator yang menunjukkan melemahnya kinerja finansial media adalah merosotnya nilai iklan, yang selama ini menjadi sumber pemasukan utama bagi banyak perusahaan pers.
Menurut laporan riset Nielsen Advertising Intelligence yang dirilis pada awal April 2025, belanja iklan di media massa mengalami penurunan drastis.
Pada kuartal pertama tahun 2025, nilai iklan tercatat turun hingga 80 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Media cetak, televisi, radio, hingga portal berita digital terkena dampak langsung dari anjloknya belanja iklan tersebut.
“Penurunan ini terjadi hampir di semua platform media. Yang paling parah dialami media cetak dan online, karena dua sektor ini sangat bergantung pada iklan sebagai sumber utama pendapatan,” ujar Wakil Ketua Dewan Pers, Agung Dharmajaya, saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/5/2025).
Gelombang PHK tidak hanya melanda wartawan atau jurnalis lapangan, tetapi juga menyasar tenaga teknis, staf redaksi, dan pekerja administrasi.
Beberapa grup media besar nasional dilaporkan telah melakukan rasionalisasi pegawai, termasuk menutup sejumlah biro daerah sebagai langkah efisiensi.
Salah satu mantan jurnalis media nasional, LO (35), mengaku terkena PHK pada Desember 2024 lalu.
Ia telah bekerja selama lebih dari delapan tahun di sebuah media daring ternama.
“Pihak manajemen menyampaikan alasan efisiensi karena iklan menurun drastis. Kami diberi pesangon, tetapi jelas kondisi ini berat, apalagi di usia saya yang sudah tidak muda lagi untuk mulai dari awal,” ujarnya kepada wartawan.
PHK massal mulai meningkat tajam sejak pertengahan 2023 dan berlanjut hingga kuartal pertama 2025.
Fenomena ini tercatat terjadi di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di Jakarta sebagai pusat industri media, tetapi juga di kota-kota besar lain seperti Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar.
“Di beberapa kota, sejumlah kantor biro ditutup karena dianggap tidak lagi efisien secara operasional. Praktis, pekerja di daerah menjadi korban pertama,” ungkap Seorang penggiat Media Massa.
Penurunan nilai iklan yang signifikan menjadi penyebab utama terpuruknya industri media.
Namun, akar persoalan dinilai lebih kompleks dan sistemik.
Ada beberapa faktor lain yang memicu krisis ini:
- Perubahan Pola Konsumsi Media
Masyarakat kini lebih banyak mengonsumsi konten melalui platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Hal ini menyebabkan pengiklan lebih memilih mengalihkan anggaran mereka ke platform tersebut, yang dianggap lebih efektif dan dapat diukur secara real-time. - Dominasi Platform Digital Global
Raksasa teknologi seperti Google dan Meta telah menguasai sebagian besar pangsa pasar iklan digital. Laporan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyebutkan, sekitar 60 persen dari total belanja iklan digital nasional diserap oleh dua perusahaan global tersebut, meninggalkan hanya sebagian kecil untuk media lokal. - Kurangnya Inovasi Bisnis Media
Banyak perusahaan media dinilai belum memiliki strategi diversifikasi pendapatan yang memadai. Ketergantungan pada iklan sebagai satu-satunya sumber pendanaan membuat mereka rentan terhadap fluktuasi pasar. - Tingginya Persaingan Konten Gratis
Banyak konten berita kini tersedia secara gratis, sehingga publik tidak merasa perlu membayar untuk akses berita berkualitas. Upaya membangun model langganan (subscription) masih menemui berbagai tantangan, terutama dalam hal kepercayaan dan loyalitas pembaca.
Sejumlah media mencoba beradaptasi dengan kondisi ini. Beberapa langkah yang diambil antara lain:
- Diversifikasi Pendapatan:
Mengembangkan lini usaha seperti penyelenggaraan event, produksi konten video, hingga layanan advertorial dan native advertising. - Transformasi Digital:
Media mulai mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mempercepat proses produksi berita dan memahami preferensi audiens secara lebih akurat. - Kolaborasi Antar Media:
Beberapa perusahaan media menjalin kolaborasi editorial dan distribusi konten untuk menekan biaya produksi dan memperluas jangkauan pembaca.
Namun, transformasi ini tidak serta-merta membuahkan hasil cepat.
“Kami butuh waktu, dana, dan sumber daya manusia yang adaptif terhadap perubahan teknologi. Sementara itu, tekanan ekonomi memaksa kami untuk terus menghemat biaya,” ujar CEO salah satu media daring nasional yang enggan disebut namanya.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan tengah menyiapkan insentif untuk mendukung keberlangsungan industri media nasional.
Salah satu opsi yang dibahas adalah pemberian insentif pajak dan peningkatan kerjasama publikasi dengan media lokal.
Dewan Pers juga mendorong penyusunan regulasi digital yang berpihak pada kedaulatan informasi nasional, termasuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Cipta Jurnalisme (journalism copyright), yang akan mengatur pembagian pendapatan antara platform digital dan media berita.
Kesimpulan
Gelombang PHK yang melanda industri media Indonesia merupakan dampak dari krisis sistemik yang dipicu oleh penurunan nilai iklan, perubahan pola konsumsi informasi, dominasi platform digital global, hingga lemahnya diversifikasi bisnis media.
Tanpa intervensi kebijakan yang menyeluruh serta adaptasi cepat dari pelaku industri, nasib ribuan pekerja media akan terus berada dalam ketidakpastian.
Masa depan industri media kini berada di persimpangan.
Bertahan atau tumbang, semuanya tergantung pada seberapa cepat dan tepat langkah yang diambil oleh pemerintah, perusahaan media, serta publik sebagai konsumen informasi.**/
