Hilirisasi Digital ala Rakyat yang Tak Butuh Konglomerat

Jakarta, 20 Juli 2025 — Ketika sebagian besar orang berpikir bahwa teknologi digital seperti blockchain, crypto, atau AI hanya bisa dikembangkan oleh raksasa perusahaan global, satu nama dari Aceh mulai membalikkan pandangan itu, salah satunya adalah Teungku Muhammad Raju.
Lewat gerakan akar rumput bersama komunitasnya di bawah naungan Prabu Satu Nasional, Raju membuktikan bahwa hilirisasi digital bisa dimulai dari rakyat, bukan dari menara gading korporasi.
“Kami tidak jual mimpi. Kami bangun sistem yang langsung bisa dipakai: buat belanja, bayar listrik, sampai kirim pesan,” ujar Raju lugas.
Apa yang ia dan timnya lakukan, bukan hanya sekadar proyek teknologi. Ini adalah jawaban nyata atas tantangan ekonomi digital, yang belakangan banyak digaungkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka “Indonesia harus berani menjadi produsen, bukan sekadar pengguna teknologi global.”
Ekosistem digital yang dibangun Raju terdiri dari empat token utama, semuanya dirancang untuk punya fungsi riil, bukan sekadar alat spekulasi:
- PSNG Token: Digunakan untuk transaksi kebutuhan harian seperti PPOB, belanja daring, hingga mengisi saldo aplikasi DovaChat, platform kirim pesan berbasis blockchain.
- LUMA Token: Digunakan sebagai biaya transaksi (gas fee) di Lumadex.finance, platform jual beli aset digital yang transparan dan 100% buatan Indonesia.
- BLC Token (Blocoin): Mirip Bitcoin, suplai terbatas 21 juta token, namun masih terjangkau dan dibangun di jaringan blockchain Solana.
- BRICS GOLD Token: Menyandarkan nilainya pada harga emas dunia, dibagi menjadi 1 triliun unit digital — menawarkan stabilitas dan narasi nilai nyata yang bisa dipercaya.
“Crypto di luar sana kebanyakan cuma angka-angka. Kami bangun token yang bisa dipakai, bukan cuma diperdagangkan,” jelas Raju.
Hebatnya, inisiatif ini tumbuh tanpa dukungan miliaran dana investasi. Lebih dari 5.000 orang dari Indonesia, kini telah memanfaatkan teknologi yang dibangun dari kampung ke global ini.
Dengan token yang bisa digunakan langsung untuk belanja atau bayar tagihan, warga pelan-pelan mulai melek digital, tak hanya paham cara pakai, tapi juga memahami nilai, fungsi, dan manfaatnya.
Apa yang dilakukan oleh Teungku Raju dan timnya menunjukkan bahwa masa depan teknologi digital Indonesia tak harus dimulai dari Silicon Valley, tapi dari nagari, dari warung kopi, dari masyarakat yang berani belajar dan mencoba.
Dari Aceh, teknologi ini mulai mencoba menembus pasar Asia. Tapi lebih dari itu, ia menembus satu batas yang selama ini sulit dipecahkan, bahwa rakyat biasa pun bisa jadi pelaku utama dalam revolusi digital.
“Kita ini bukan kekurangan ide, hanya sering tak diberi ruang. Jadi kami bangun sendiri ruangnya,” tutup Raju.
