Di Setiap Pergelaran Pemilu, Politik Kebencian Selalu Merebak
Hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu […]
Hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu merebak. Yang sangat menonjol ada tegangan politik intens yang menghunuskan permusuhan terhadap yang berbeda sebagai yang harus dipojokkan, dimusuhi dan dipencilkan.
Terpantau oleh gensa.club di salah satu artikel yang berjudul “Politik Kebencian dan Berpikir Kritis” dari Suara Muhammadiyah tentang pembahasan hampir di setiap pergelaran Pemilu sejak 2017 politik kebencian selalu merebak. yukk kita simak selengkapnya dibawah ini.
Oleh: Sobirin Malian, Dosen FH Univesitas Ahmad Dahlan
Politik Kebencian dan Berpikir Kritis
Semestinya pencerdasan politik atau pendidikan politik harus hadir sebagai harapan tentang diskursus kritis yang akan mewarnai pesta demokrasi seperti sekarang ini sehingga kita mampu menikmati dan mengucapkan selamat tinggal pada politik kebencian.
Sangat disayangkan, sejak Pemilu 2014 polarisasi politik kebencian tak bisa kita lepaskan. Bahkan politik kebencian selalu dimobilisasi hingga terus membesar sampai 2024 ini. Kebencian pada awalnya digerakkan oleh hasrat merebut kekuasaan dalam arena politik atau dunia olahraga lalu memasuki semua relung-relung dalam kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial bahkan keluarga.
Politik kebencian bak air bah mengalir deras menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan.Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik, terutama dari generasi milineal, dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan). Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.
Dalam pemilahan tersebut, perbedaan bukan sebagai rahmat yang memungkinkan interaksi, sinergi dan solusi, tetapi sebagai perangkat penyekat. Sangat berlawanan dengan interaksi, sinergi dan solusi__penyekat adalah suatu tindakan non intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan. Aspek resiprokalitas, yang menjadi ciri “rahmat dari perbedaan” justru diarahkan kepada suatu pemencilan dan rasa permusuhan. Debat pun akhirnya dilaporkan.
Sadar tidak sadar resiprokal yang berujung pemencilan telah mengancam sosiabilitas. Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap perbedaan karena terhasut dan terjebak dalam politik kebencian tadi yang diseret-seret dalam permainan kekuasaan. Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Kebhinekaan telah digerus oleh kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasikan diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme. Gaya populisme ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.
Populisme menjadi masalah dalam politik Indonesia manakala populisme dianggap berafiliasi dengan politik identitas (agama dan budaya); populisme oleh karenanya dianggap mengancam integritas masyarakat karena rentan menggiring masyarakat dan atau negara pada perpecahan.
Lebih jauh, politik identitas dibungkus agama dan budaya memiliki andil besar untuk memantik sentimental dan menarik simpati militan pengikut kelompok identitas tertentu. Populisme berbasis politik identitas disinyalir jika memobilisasi kekuatan massa dan bertendensi mengabaikan keberadaan individu atau kelompok di luar dirinya. Atas dasar itulah, Marc F Plattner (2010) menyebut populisme sebagai suatu antema bagi demokrasi, antara lain ancaman serius yang dibawa oleh gaya politiknya yang sejatinya anti keberagaman.
Politik Harapan dan Harapan Politik
Realitas yang pahit kadangkala melahirkan hikmah, menjadi pelajaran yang penting. Bahkan tidak jarang kondisi yang pahit tadi melahirkan idealisme baru sebagai harapan masa depan. Apa yang kita lakukan saat ini akan mempengaruhi masa depan kita nantinya. Jika tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti masa lalu, lakukan hal yang lebih baik dari sekarang. Oleh karena itulah, pahitnya politik kebencian mesti kita akhiri segera, agar kita dapat beranjak menyongsong harapan-harapan politik baru.
Pada 2024 ini, kita segera menghadapi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden lalu disusul pilkada serentak, tentu masih banyak energi yang kita butuhkan untuk menghadapi momen penting politik itu. Titik ini menjadi sangat krusial bukan sekadar ia menjadi ajang pertarungan kekuasaan, melainkan ia strategis menentukan arah perkembangan negara ke depan. Apakah akan terkonsolidasi ataukah akan terjadi perubahan.
Bagaimana pun politik kebencian telah meninggalkan celah pembelahan sosial, yang mengindikasikan suatu kemunduran demokrasi. Pertanyaan penting kini, bagaimana politik itu menjadi arena pendidikan yang mampu mendewasakan, bukan terjebak pada pertikaian.
Jika para kandidat dan para pendukungnya hanya bisa mematut diri sambil mencibir, menyinyir kelemahan lawan, dapat dipastikan proses politik kita gagal menghasilkan suatu diskursus yang mencerdaskan. Sebaliknya, bila para kandidat mampu menyodorkan alternatif (program, visi, misi) yang cerdas bagi masa depan pemilih, tentu akan mendewasakan demokrasi kita, sekaligus meninggalkan politik kebencian. Dengan menolak meremehkan nalar sehat untuk diinjak-injak dogma, mari kita bersepakat…ucapkan selamat tinggal politik kebencian.
Berpikir Kritis dan Melahirkan Kebijakan
Bagaimana pun, politik kebencian dapat melahirkan konflik sosial akibat kesalahpahaman penafsiran informasi dari media sosial atau dari mana saja. Bahayanya hal ini akan menguatkan fenomena post-truth atau pascakebenaran yang berpotensi memecah belah kehidupan sosial. Selain itu, dalam keseharian kita juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan regulasi yang dibuat oleh pihak yang berkuasa. Sebagai individu kita memang wajib mematuhi hukum yang berlaku selama itu baik bagi kehidupan bersama. Namun, kita juga harus aktif dan bersikap kritis terhadap aturan yang dibuat karena bisa saja aturan yang dibuat hanya ditujukan menguntungkan pihak tertentu tapi merugikan pihak lain.
Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan (power) dan kekuasaan (knowledge) sangatlah berkaitan erat. Bentuk dominasi modern termanifestasi dalam bentuk yang tidak ‘terlihat” terutama melalui wacana yang banyak menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis sangat kita perlukan, terutama kritis dalam mencermati berbagai wacana yang memanfaatkan permainan bahasa (language of game). Apa Itu Berpikir Kritis? “Kritis” dalam konteks “berpikir kritis” sering diartikan secara keliru sebagai kegiatan menyerang atau menjatuhkan seseorang.
Kesalahpahaman ini tidaklah tepat dan dapat berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, terutama di era rezim otoriter. Di era Orba “sikap kritis” sering diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi di era Jokowi pun, kritik sering dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Akibatnya, mereka yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah selalu berujung dilaporkan dengan alasan melanggar UU ITE. Hal ini tentunya sangat mencederai paham demokrasi yang dianut oleh negara kita.
Lalu apa itu berpikir kritis? Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal. Rocki Gerung mengatakan, berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan (Warta Feminis, 5/12/2017).
Berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis. Intinya, upaya memulihkan akal sehat publik. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.
Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.
Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun. Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan sebagai bentuk masukan positif guna terus memperbaiki diri. Melatih diri berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.
Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan. Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.
Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele. Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju. Budaya masyarakat, maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal. Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.
Lahirnya, UU 19/2016 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum serta direncanakannya polisi virtual untuk mengontrol pelanggaran memang diperlukan. Namun yang terpenting adalah kita harus menjadikan berpikir kritis sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari supaya masyarakat terbiasa mengindentifikasi dan menganalisis suatu permasalahan dengan mengandalkan logika, bukan emosi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif.
Budaya berpikir kritis juga harus diperkuat, terutama di sektor pendidikan (nampaknya ini pula tujuan dari program Belajar Merdeka di kampus-kampus), untuk menciptakan sumber daya manusia yang terbiasa menggunakan rasionalitas dalam memecahkan suatu permasalahan. Keuntungan lainnya dari berpikir kritis adalah kita akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa kemanusiaan karena kita terbiasa menggunakan logika untuk kepentingan bersama.
Yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat untuk berpikir, selain kritis terhadap hal yang merugikan, kita juga harus terbuka dan siap untuk dikritik, bukan anti-kritik. Hal ini demi kebaikan diri sendiri maupun kepentingan kolektif.
Sumber : Politik Kebencian dan Berpikir Kritis,
#Politik #Hukum #News